REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Bank Indonesia memantau terus perkembangan ekonomi global terutama kemungkinan terjadinya perang kurs yang bisa terjadi sebagai konsekuensi program stimulus negara maju terutama Amerika Serikat. Program stimulus AS yang melakukan quantitative easing dengan menambah likuiditas di pasar melalui pembelian dolar AS.
Direktur Direktorat Pengelolaan Moneter Bank Indonesia Hendar kepada Antara di Jakarta, Kamis, mengatakan BI terus memperhatikan dinamisasi kondisi di luar negeri karena keberhasilan program stimulus AS sangat bergantung pada sikap China untuk mempercepat relaksasi yuan.
Jika yuan tetap undervalue (rendah) sehingga barang China tetap murah, AS akan mengalami defisit neraca berjalan yang permanen dan kegagalan ekonomi AS itu bisa berdampak luas mengingat peran AS sebagai pasar utama yang menyerap barang ekspor negara berkembang. "Perlambatan ekonomi AS akan memperlambat ekonomi global melalui mekanisme ekspor. Maka perang kurs akan memberikan dampak pada inflow, ekspor dan inflasi di semua negara," kata Hendar.
Menurutnya arus dana asing masuk yang besar akan memberikan tekanan penguatan rupiah, sehingga di satu sisi, menguatnya rupiah menyebabkan daya saing ekspor berkurang karena nilai tukar menjadi kurang kompetitif.
Di sisi lain, penguatan rupiah mengurangi tekanan inflasi melalui penurunan harga barang impor. "Jadi dampak secara keseluruhan tergantung pada tingkat sensitivitas kurs terhadap inflasi dan ekspor. Pada krisis 2008, ekonomi Indonesia teruji mempunyai daya tahan tinggi terhadap gejolak ekonomi global karena pasar domestik yang cukup besar mampu menyerap permintaan," katanya.
Dalam konteks ini Bank Indonesia juga mempertimbangkan tingkat daya saing dengan negara lain karena penguatan nilai tukar tidak hanya dialami Indonesia tetapi juga seluruh pesaing ekspor. Penguatan paling kecil terjadi pada yuan China, dolar Hong Kong dan dolar Taiwan yang cenderung menjaga nilai tukarnya tetap rendah, sementara mata uang negara eksportir lain menguat dibandingkan rupiah.
Misalnya ringgit Malaysia dan baht Thailand yang menguat 10,58 persen dan 11,67 persen pada 2010, sedangkan Rupiah menguat cukup moderat sebesar 5,51 persen.
Namun, menurut Hendar tren pelemahan dolar AS masih akan terus berlanjut karena telah berpindahnya motor ekonomi global dari negara maju ke negara berkembang seperti terlihat pada pertemuan G-20 baru-baru ini yang memberi peran lebih besar pada negara berkembang di IMF.
Para pemimpin negara anggota G-20 juga menyatakan tidak akan melemahkan mata uang untuk menjaga daya saing ekspor, sehingga tren pelemahan dolar AS atau tekanan penguatan mata uang lain masih akan berlanjut.
Untuk menahan tekanan `capital inflows` dan mengurangi penguatan rupiah, BI mengambil beberapa langkah secara komprehensif yaitu melihat kesesuaian penguatan rupiah dengan indikator ekonomi makro lainnya yang tidak membahayakan keseimbangan eksternal, khususnya keberlanjutans neraca berjalan.
"BI juga akan melakukan sterilisasi secara terukur untuk meminimalkan fluktuasi pergerakan kurs serta memberikan ruang bagi kenaikan cadangan devisa yang bermanfaat untuk cadangan jika terjadi pembalikan," katanya.