REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR--Kepala Departemen Agronomi dan Holtikultura Institut Pertanian Bogor (IPB), Agus Purwito, menilai sagu merupakan tanaman yang paling baik dikembangkan untuk mengatasi kelangkaan pangan. Tak hanya itu, sagu pun merupakan tanaman potensial untuk beragam industri mulai dari kosmetik hingga bio fuel.
''Namun sayangnya, hingga kini penggunaan sagu hanya sebesar 10 hingga 20 persen dan itu pun hanya terbatas untuk industri,'' ujar Agus pada Republika, Kamis (14/10).
Hal senada juga diungkapkan Praktisi Pangan Eddy Papilaya. Menurutnya, tanaman sagu tak hanya memiliki pengaruh pada industri tapi juga lingkungan sekitar.
''Tumbuhan sagu yang kokoh jika ditanam dalam jumlah yang besar juga berpotensi untuk mengurangi global warming (pemanasan global),'' kata dosen Universitas Maluku Utara ini. '' Ini juga bisa menguntungkan Indonesia. Kita bisa mendapat keuntungan melalui Carbon Trade.''
Tanaman sagu dikenal dengan nama latin Metroxylon sagu sp. Tepung Sagu merupakan sumber potensial yang mengandung 84,7 gram karbohidrat per 100 gram bahan. Dibanding dengan makanan penghasil karbohidrat lain, kandungan energinya lebih besar 535 kkal.
Meski demikian, angka konsumsi sagu di Indonesia masih rendah. Dari data Kementerian Pertanian 2009, jumlah konsumsi sagu masyarakat hanya sebesar 0,41 kg/kap per tahunnya. Bahkan dibanding terigu yang konsumsinya mencapai 12,88 kg/kapita per tahunnya.
Dari total luas wilayah Indonesia, hanya 1,1 juta hektar wilayah yang telah ditanami sagu. Mereka rata-rata tersebar di wilayah Indonesia Timur, seperti Papua, Maluku, dan Sulawesi.