Kamis 07 Oct 2010 02:08 WIB

Lepas 60% Stock Minyak Mentah tak Ada Gunanya

Rep: Cepi Setiadi/ Red: Djibril Muhammad
Minyak mentah
Minyak mentah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Direktur Eksekutif, ReforMiner Institute, Pri Agung Rakhmanto menilai rencana pemerintah untuk melepas stok minyak mentah hingga 60 persen demi mengejar target lifting yang tidak tercapai bukan sebagai langkah yang strategis. ''Ini justru akan semakin melemahkan ketahanan energi nasional dari resiko gangguan suplai,'' kata Pri Agung kepada Republika, di Jakarta, Rabu (6/10).

Menurutnya, tanpa melepas stok saja, stok minyak mentah nasional hanya sekitar 12-14 juta barel. ''Artinya dengan kebutuhan kilang nasional satu juta barel per hari hanya cukup untuk emergency 12-14 hari saja,'' ungkap dia.

 

Pri Agung menambahkan, mengacu standar negara-negara yang tergabung dalam International Energy Agency, yang tidak semua anggotanya merupakan penghasil minyak, standar minimum stok minyak mentah mereka adalah 90 hari (tiga bulan). ''Kita yang penghasil minyak malah hanya 12-14 hari saja, tidak ada apa-apanya dengan mereka,'' ujar dia.

Apalagi, lanjut dia, jika sampai melepas 60 persen atau sekitar 7,2 juta barel demi mengejar target lifting yang sejak awal memang realistis. Pri Agung mengingatkan, jika kemudian lifting 965 ribu itu tercapai dengan pelepasan stok, itu adalah pencapaian yang artifisial, karena tidak seluruhnya berasal dari produksi tahun berjalan. ''Tidak ada gunanya seperti itu, apalagi dengan mempertaruhkan ketahanan energi nasional,'' tandas dia.

Seperti diberitakan sebelumnya, untuk mencapai target lifting sesuai APBN-P 2010 pemerintah berencana melepas stock minyak mentah. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementerian ESDM, Evita H. Legowo mengungkapkan saat ini stock minyak mentah yang dimiliki pemerintah sekitar 12 juta barel. ''Kita kemungkinan akan melepas sekitar 60 persen dari stock tersebut,'' kata Evita di Jakarta, Rabu (6/10).

Rencananya, kata Evita, stock cadangan minyak mentah tersebut dilepas pada November 2010 mendatang, yakni sekitar tujuh juta barel. Evita sendiri mengakui bahwa target produksi minyak pada tahun ini semakin sulit untuk dicapai.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement