Jumat 23 Jul 2010 04:05 WIB

Makeover Wall Street Dimulai

Rep: shally pristine/ Red: Krisman Purwoko

REPUBLIKA.CO.ID,WASHINGTON--Presiden Amerika Serikat (AS), Barack Obama, mengesahkan rancangan regulasi keuangan paling komprehensif selama 70 tahun terakhir, menjadi Undang-Undang (UU). Dengan disahkannya UU Reformasi Wall Street dan Perlindungan Konsumen ini, ikon industri keuangan AS di kawasan Manhattan itu harus berubah total.

Obama bersumpah, UU yang ditandatanginya itu akan menihilkan risiko krisis keuangan seperti yang terjadi 2008 lalu. "Karena produk hukum ini, masyarakat Amerika tidak akan pernah lagi harus menanggung tagihan karena kesalahan Wall Street. Tidak akan ada lagi dana talangan yang didanai pajak masyarakat. Titik," kata Obama usai penandatanganan, Rabu (21/7).

Lantas, Obama mengkritik keras para peminjam yang tidak tahu malu. Dia menyebut, mereka telah mengambil risiko yang membahayakan perekonomian rakyat. UU ini akan menyediakan kepastian bagi semua pihak, mulai dari bankir hingga petani. "Kecuali bisnis Anda bergantung pada pengutipan dari pelanggan, Anda tidak perlu takut terhadap reformasi ini," ucapnya.

Suara-suara minor dari kalangan dunia usaha angkat bicara atas UU ini, menyebutnya hanya akan mempersulit dunia usaha menciptakan peluang kerja baru. Asosiasi Bankir Amerika termasuk yang bersuara keras. Mereka menyatakan kekecewaannya karena UU itu memuat tsunami aturan baru dan pengetatan bagi bank tradisional, yang tidak menyebabkan terjadinya krisis pada awalnya.

Sedangkan Kamar Dagang AS, yang kerap mengkritik kebijakan ekonomi Obama, juga menganggap UU ini akan berdampak buruk bagi perekonomian. "Sungguh aturan yang terlalu luas dengan tujuan yang tidak jelas. Aturan ini akan menciptakan lebih banyak ketidakpastian dalam bisnis di AS," kata Presiden Kamar Dagang AS, Thomas J Donohue.

Sementara, Bart Chilton, komisioner Komisi Perdagangan Komoditas Berjangka AS, mengatakan, UU ini memberikan kesempatan bagi regulator untuk mengatur pasar dengan lebih baik, namun masih banyak pertanyaan yang belum terjawab. "Bagaimana kita melakukannya, kapan, dan seterusnya, adalah pertanyaan dinanti untuk bisa dibuktikan oleh para pendukung UU," ucapnya.

Direktur Kepala Keuangan Morgan Stanley, Ruth Porat, termasuk yang menyambut baik UU ini. Pemimpin perusahaan keuangan raksasa ini menyatakan, aturan baru tersebut memberikan kejelasan di sekitar masalah yang ada. Termasuk, mencegah perdagangan berisiko yang dilakukan lembaga keuangan untuk keuntungannya sendiri, menggunakan uang para nasabah.

Ketika di Senat, aturan yang diusulkan pemerintah ini juga mendapat tentangan keras dari para Republikan. Senator Richard Shelby dari Komisi Perbankan meledek regulasi ini sebagai ide 'negara pengasuh'. Kubu Republik dan Demokrat tengah dalam perseteruan ketat untuk mencuri hati rakyat AS menjelang pemilihan umum legislatif, November mendatang.

UU ini juga menelurkan Biro Perlindungan Konsumen Finansial untuk mengatur semua produk keuangan. Perhatian lantas bergeser ke sosok yang akan memimpin lembaga dengan anggaran tahunan hingga 500 juta dolar AS ini. Wall Street Journal menulis, kandidat terkuat adalah Elisabeth Warren dari Harvard Law School yang pertama kali mencetuskan pembuatan biro ini.

Sebanyak 80,3 persen responden yang mengisi polling di wsj.com menyatakan mereka pesimis UU Reformasi Wall Street dan Perlindungan Konsumen akan mencegah kembali terjadinya krisis keuangan besar di AS. Hanya 4,7 persen yang setuju. Sebanyak 15,1 persen sisanya berharap UU itu akan berguna.

sumber : reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement