Rabu 26 May 2010 03:39 WIB

Cegah Daging Ilegal, Data Impor Sapi Mesti Tayang Online

Rep: EH Ismail/ Red: Ajeng Ritzki Pitakasari
Daging sapi impor (Ilustrasi)
Daging sapi impor (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA—Aksi penyitaan 2.158 sapi impor ilegal asal Australia terus mendapatkan apresiasi dari berbagai pihak. Setelah Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo) memuji langkah pemerintah, kini giliran para peternak sapi menyampaikan pandangan positif serupa.

Ketua Harian Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia, Teguh Boediyana, mengatakan, langkah tegas penyitaan sapi impor ilegal seharusnya menjadi momentum menguak dugaan praktik impor ilegal lainnya. “Karena bisa saja bukan hanya impor sapinya yang ilegal, tapi juga impor daging sapi dan jeroan,” ujar Teguh kepada Republika, di Jakarta, Selasa (25/5).

Menurut Teguh, praktik impor sapi dan daging ilegal telah menyebabkan kondisi suplai berlebih di pasaran. Akibatnya, harga sapi dan daging lokal anjlok dan merugikan peternak serta pengusaha dalam negeri.

Ia mengatakan masalah utama kondisi over suplai sapi dan daging di dalam negeri terdapat pada penerbitan izin impor sapi dan daging/jeroan. Bila proses perizinan impor sapi tidak dibenahi,  kata dia, PPSKI tak yakin target swasembada daging sapi tahun 2014 bisa terwujud. Alasannya, peternak tidak semangat melakukan budi daya sapi karena harga tidak menggiurkan.

Sistem Oline

Terkait izin impor, Teguh meminta agar pemerintah menyajikan data dan informasi impor sapi dan daging dengan sistem online. Keuntungannya, kata Teguh, semua pihak yang berkepentingan dengan impor sapi bisa melakukan pengamatan langsung secara real time.

“Kalau data perizinan impornya bisa online, semua bisa melihat ke situ. Bea cukai, Badan Karantina, pengusaha, dan peternak tahu semua berapa sebenarnya jumlah impor sapi saat ini.”

Selama ini, dia melanjutkan, ada perbedaan mengenai data impor sapi. Data yang dikeluarkan Kementerian Pertanian berbeda dengan data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS). “Data mereka juga berbeda dengan data dari BPS Australia (Australian Bureau of Statistics) dan Meat and Livestock Australia,” papar Teguh.

Dia menambahkan, perbedaan data bisa menjadi indikasi awal adanya praktik impor ilegal yang terjadi di Indonesia. “Kalau online kan semua transparan, sehingga bisa dieliminasi praktik ilegalnya,” tegas Teguh.

Sementara itu, Direktur Budidaya Ternak Ruminansia Direktorat Jenderal Peternakan Kementerian Pertanian, Fauzi Luthan, menyatakan, pemerintah masih mempelajari kasus sapi impor ilegal yang dilakukan PT Sasongko Prima. “Sanksinya belum kita tetapkan, masih dipelajari kasusnya,” kata Fauzi.

Menurut Fauzi, tindakan penyitaan sapi impor dikarenakan PT Sasongko Prima tidak memiliki Surat Perintah Pemasukan (SPP) impor sapi sebagai dasar hukum kegiatan impor. “SPP-nya belum keluar, tapi sapinya sudah masuk.”

Kendati demikian, Fauzi melanjutkan, sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 7 Tahun 2008 tentang Syarat dan Tata Cara Pemasukan dan Pengeluaran Benih, Bibit Ternak, dan Ternak Potong, ada lima jenis sanksi yang bisa dijatuhkan terhadap importir ilegal. Sanksi berupa teguran tertulis, penghentian izin pemasukan ternak sementara buat perusahaan, pemusnahan ternak yang sudah masuk, pemberian rekomendasi pencabutan izin usaha hingga pencabutan izin impor secara umum.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement