REPUBLIKA.CO.ID, NUSA DUA--Pemerintah Indonesia harus bersikap lebih terbuka soal kepemilikan bangunan oleh orang asing. Kendati tidak diizinkan, kenyataannya cukup banyak orang asing yang membeli properti di Indonesia, dengan menggunakan nama orang lain.
"Tidak perlu khawatir mereka akan menggusur orang-orang miskin. Tinggal kita memperketat persyaratannya saja," kata mantan presiden dunia Federasi Real Estat Dunia, Dato Allan Tong, di Nusa Dua, Bali, Selasa (25/5).
Menurut pengusaha real estat asal Malaysia itu, pengalaman di negaranya, untuk meyakinkan pemerintah dan para politisi soal kepemilikan rumah bagi orang asing, memang agak berat. Namun, setelah pihaknya terus menerus berjuang, akses kepemilikan bagi orang asing akhirnya dibuka.
Memang ada kekhawatiran jelas Tong, jika orang asing dibebaskan membeli rumah atau properti, rakyat miskin akan tergusur. Tapi, untuk melindungi rakyat kecil, pemerintah Malaysia pun mengeluarkan aturan khusus bagi bagi orang asing yang ingin membeli rumah.
"Pertama mereka bekerja dan harus memiliki gaji minimal sebesar 2.000 dolar AS atau setara dengan 7.500 ringgit Malaysia," kata Tong. Sedangkan rumah yang boleh dibeli, imbuh dia, harus memiliki harga minimal 100.000 dolar AS atau setara 350.000 ringgit Malaysia.
Kalau ingin maju saran Tong, syarat kepemilikan properti di Indonesia harus diubah dengan memberi kelonggaran syarat kepemilikanya. Berbeda dengan bisnis lain di mana barang bisa dibawa ke luar negeri, bisnis properti, pembelinyalah yang harus datang. "Jadi kalau mereka boleh memiliki bangunan itu, pastilah mereka tertarik ke Indonesia," katanya.