Selasa 09 Dec 2025 21:11 WIB

Banyak Akomodasi Wisata Ilegal di Bali, Benarkah Kemenpar Akan Larang Airbnb?

Pemerintah melihat OTA sebagai mitra strategis dalam memajukan pariwisata nasional.

Rep: Array/ Red: Lida Puspaningtyas
Wisatawan berjalan di dekat jalur pejalan kaki yang rusak di Pantai Kuta, Badung, Bali, Rabu (12/11/2025). Jalur pejalan kaki atau walkway di sejumlah titik sepanjang destinasi wisata utama di Pulau Dewata tersebut mengalami kerusakan akibat diterjang gelombang tinggi beberapa waktu terakhir.
Foto: ANTARA FOTO/Fikri Yusuf
Wisatawan berjalan di dekat jalur pejalan kaki yang rusak di Pantai Kuta, Badung, Bali, Rabu (12/11/2025). Jalur pejalan kaki atau walkway di sejumlah titik sepanjang destinasi wisata utama di Pulau Dewata tersebut mengalami kerusakan akibat diterjang gelombang tinggi beberapa waktu terakhir.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pariwisata menanggapi pemberitaan mengenai dugaan pelarangan layanan Online Travel Agent (OTA) seperti Airbnb di Bali. Dalam pernyataannya, Selasa (9/12/2025), Kemenpar menegaskan bahwa Pemerintah tidak pernah melarang maupun berencana menghentikan operasional OTA di Indonesia.

Pemerintah justru melihat OTA sebagai mitra strategis dalam memajukan pariwisata nasional. Yang saat ini dilakukan Pemerintah adalah penataan terhadap akomodasi pariwisata ilegal, yaitu unit usaha akomodasi pariwisata yang beroperasi tanpa izin usaha akomodasi pariwisata yang resmi, bukan pembatasan terhadap platform OTA.

Baca Juga

Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya meningkatkan kualitas layanan, menjamin keselamatan wisatawan, serta menciptakan persaingan usaha yang adil.

Sejalan dengan temuan masih banyaknya akomodasi pariwisata yang belum memiliki izin di Bali dan berbagai destinasi lainnya, Kementerian Pariwisata telah mengambil langkah proaktif sejak Maret 2025. Mulai dari pendataan, pembinaan, edukasi, serta pengawasan terhadap seluruh pelaku usaha akomodasi pariwisata di Bali, D.I. Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, dan Jawa Barat.

Hal ini juga kembali ditekankan dalam Surat Edaran Menteri Pariwisata No. 4 Tahun 2025 tentang Imbauan Pendaftaran Perizinan Berusaha bagi Pelaku Usaha Penyediaan Akomodasi Pariwisata, tertanggal 6 Agustus 2025. Surat ditujukan sebagai rujukan para Kepala Daerah, Ketua Asosiasi Penyedia Akomodasi Pariwisata, dan Pelaku Usaha Penyediaan Akomodasi Pariwisata.

Penataan yang dilakukan saat ini bertujuan menjaga keberlanjutan destinasi, melindungi wisatawan, serta memastikan usaha akomodasi pariwisata, baik besar maupun kecil, beroperasi secara legal.

Pemerintah juga bekerja sama erat dengan berbagai OTA untuk memastikan merchant mereka memenuhi ketentuan perizinan. Menindaklanjuti Rapat Koordinasi bersama para OTA tertanggal 29 Oktober 2025, Pemerintah telah mengirimkan surat kepada para OTA tertanggal 8 Desember 2025 untuk mengarahkan merchant mereka melakukan pendaftaran perizinan.

“Legalitas usaha bukan sekadar formalitas administratif. Izin melalui sistem OSS adalah prasyarat agar sebuah akomodasi pariwisata memenuhi standar keamanan, profesionalitas, dan kewajiban fiskal yang berdampak langsung pada Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan penerimaan pajak Pemerintah Pusat,” demikian pernyataan resmi Kementerian Pariwisata.

Dalam rangka penataan yang terukur, Pemerintah dan OTA telah menyepakati serangkaian langkah bersama. Termasuk, sosialisasi kewajiban perizinan, penyebaran formulir registrasi usaha, hingga target bahwa seluruh akomodasi pariwisata yang dipasarkan melalui OTA wajib memiliki izin paling lambat 31 Maret 2026. Merchant yang tidak memenuhi ketentuan akan dihentikan penjualannya di OTA.

Menteri Pariwisata, Widiyanti Putri Wardhana

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement