REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) mendukung upaya pemerintah dalam memberantas tambang ilegal. Perhapi menegaskan bahwa tambang ilegal harus diberantas karena bertentangan dengan prinsip good mining practice (GMP) dan menimbulkan kerusakan lingkungan yang serius.
“Tidak ada kajian teknis, tidak ada pengelolaan lingkungan, dan tidak ada jaminan keselamatan kerja. Dampaknya sangat luas, mulai dari rusaknya lahan, pencemaran air, hingga hilangnya potensi pendapatan negara,” ujar Ketua Umum Perhapi Sudirman Widhy, Rabu (5/11/2025).
Ia menyebut pemberantasan tambang ilegal harus menjadi prioritas nasional yang dijalankan secara sistematis dan berkelanjutan. Perhapi memberikan apresiasi terhadap komitmen Presiden Prabowo Subianto yang secara langsung menyoroti persoalan tambang ilegal dalam Sidang Tahunan MPR, 15 Agustus 2025.
Salah satu langkah nyata pemerintah adalah pembentukan Direktorat Penegakan Hukum (Gakkum) di sektor ESDM, yang diharapkan bisa meniru efektivitas lembaga serupa di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Sudirman menilai, langkah tersebut menunjukkan adanya perubahan paradigma tata kelola tambang nasional. “Ini sinyal kuat bahwa pemerintah tidak hanya ingin menata regulasi, tetapi juga benar-benar menegakkan hukum di lapangan,” ujar dia.
Presiden sebelumnya menyebut, jumlah tambang ilegal di Indonesia telah melampaui 2.000 lokasi, mencakup komoditas batu bara di Kalimantan, nikel di Sulawesi, serta emas dan bauksit di Sumatera dan Kalimantan Barat, lanjutnya.
Perhapi berharap pemberantasan tambang ilegal tidak berhenti pada tataran wacana, tetapi benar-benar diimplementasikan lintas lembaga.
Pembentukan Satgas Gabungan Pemberantasan Tambang Ilegal dan Kawasan Hutan dinilai menjadi langkah awal yang tepat.
Sudirman pun mengatakan memastikan Perhapi siap bekerja sama dengan Bareskrim Polri dan beberapa kejaksaan tinggi untuk memberikan dukungan teknis dan data geologi dalam penyelidikan kasus tambang ilegal.
“Kami siap membantu menghitung estimasi cadangan yang hilang, potensi kerugian lingkungan dan negara, serta memberi data geologi sebagai dasar penindakan,” kata Sudirman.