REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani, menyoroti proyek strategis pembangunan fasilitas manufaktur panel surya (photovoltaic/PV) di Indonesia. Proyek ini merupakan hasil kolaborasi antara Pertamina New & Renewable Energy (NRE) dan perusahaan asal China, LONGi Green Technology Co., Ltd.
Menurut Eniya, proyek tersebut sangat mendukung proses transisi energi di Tanah Air. Pemerintah menargetkan bauran energi mencapai 34,3 persen hingga 2034. Ia berharap proyek ini berjalan lancar sehingga dapat membantu implementasi RUPTL dengan target tambahan kapasitas pembangkit sebesar 69,5 gigawatt (GW).
“Dari target tersebut, 61 persen atau 42,6 GW berasal dari pembangkit EBT,” kata Dirjen EBTKE di Jakarta, dikutip Selasa (24/6/2025).
Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM, Edy Junaedi, juga mengapresiasi kerja sama antara LONGi dan Pertamina NRE. Menurutnya, langkah kedua perusahaan ini tidak hanya meningkatkan kapabilitas manufaktur nasional, tetapi juga mengintegrasikan Indonesia ke dalam rantai pasok global industri EBT.
“Hal ini akan memperkuat dan meningkatkan kolaborasi kedua negara dalam mempercepat transisi energi,” ujar Edy saat memberikan sambutan dalam acara Project Launching Solar PV Manufacturing di Delta Mas, Bekasi, Jawa Barat, Senin (23/6/2025).
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, kemampuan produksi panel surya dalam negeri saat ini baru sebesar 1,6 GWp per tahun. Dengan proyek ini, kapasitas produksi nasional dapat meningkat menjadi 3 GWp. Target jangka panjangnya adalah mendukung pengembangan PLTS hingga 300–400 GWp pada 2060.
CEO Pertamina NRE, John Anis, menjelaskan bahwa kerja sama ini merupakan tonggak penting dalam transisi energi di Indonesia.
“Dengan membangun kapasitas manufaktur lokal, kami ingin memperkuat rantai pasok solar PV dalam negeri, menurunkan biaya produksi, dan menciptakan lapangan kerja hijau yang berkeahlian tinggi,” kata John.
Wakil Presiden LONGi Global, Dennis She, menyebut kerja sama ini sebagai peluang penting bagi perusahaannya untuk mengembangkan bisnis di Asia Tenggara, khususnya di sektor energi.
“Kami berharap bisa terus mendukung target transisi energi di Indonesia dengan saling berbagi pengetahuan dan teknologi dalam industri solar PV,” ujarnya.
Pemerintah Indonesia telah memiliki peta jalan peningkatan permintaan solar PV hingga 2035. Proyek ini dinilai sangat potensial dan mendukung pengembangan PLTS dalam RUPTL, serta mendorong industri supply chain seperti solar cell dan pengembangan proyek hidrogen hijau (green hydrogen) ke depannya.
Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero), Fadjar Djoko Santoso, menambahkan bahwa langkah Pertamina NRE dalam mendorong pengembangan energi transisi merupakan upaya proaktif dalam mendukung target swasembada energi dan net zero emission (NZE) pemerintah.
“Sejalan dengan program Pertamina sebagai pemimpin energi transisi, kami berharap proyek pembangunan fasilitas manufaktur panel surya ini dapat memperkuat ekosistem energi transisi di Indonesia,” jelas Fadjar dalam keterangan resmi Pertamina NRE.
Proyek strategis ini merupakan bagian dari upaya Pertamina NRE dalam mewujudkan visi Net Zero Emission 2060. Inisiatif ini juga mendukung pemenuhan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), serta memenuhi permintaan yang terus meningkat terhadap modul solar PV di pasar domestik dan kawasan Asia Tenggara.
Fasilitas ini ditargetkan memiliki kapasitas produksi sebesar 1,4 GW per tahun dan akan menggunakan teknologi terbaru dari LONGi. Perusahaan asal China tersebut merupakan pemimpin global dalam manufaktur solar PV dengan teknologi Hybrid Passivated Back Contact (HPBC) 2.0 tipe N yang menghasilkan modul surya berdaya efisiensi tinggi. Lokasi proyek berada di Deltamas, Jawa Barat, dan diharapkan dapat menyerap tenaga kerja lokal serta mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
View this post on Instagram