REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan, mendorong revisi terhadap metode perhitungan tingkat kemiskinan di Indonesia. Ia menyatakan bahwa timnya tengah mengevaluasi kembali angka garis kemiskinan (GK) nasional dan siap menyampaikan laporannya kepada Presiden Prabowo Subianto.
“Sudah kami bicarakan sejak beberapa waktu lalu, bahwa kita harus merevisi angka ini. Bukan menandakan sesuatu yang tidak baik, tapi memang angka ini perubahannya harus betul-betul dilihat lagi,” ujar Luhut di sela agenda International Conference on Infrastructure (ICI) 2025 di Jakarta, Kamis (12/6/2025).
Ia memastikan bahwa proses evaluasi dilakukan dengan berkoordinasi bersama Badan Pusat Statistik (BPS). Menurutnya, Presiden Prabowo akan menjadi pihak yang mengumumkan angka garis kemiskinan baru setelah menyetujui hasil kajian tersebut.
Meski tidak menyebutkan tenggat waktu, Luhut mengaku optimistis pihaknya telah memiliki data yang cukup untuk menyusun revisi.
“Angka kemiskinan itu, sama seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan food estate. Semua itu bukan isu yang tidak bisa diselesaikan,” tegasnya.
Sebelumnya, Bank Dunia melalui laporan bertajuk June 2025 Update to the Poverty and Inequality Platform mengumumkan pembaruan metode penghitungan tingkat kemiskinan. Metode ini menggunakan purchasing power parity (PPP) 2021 yang dirilis oleh International Comparison Program (ICP) pada Mei 2024. Sebelumnya, Bank Dunia menggunakan PPP 2017 dalam laporan April 2025.
Dengan basis PPP 2021, garis kemiskinan negara berpendapatan menengah atas ditetapkan sebesar 8,30 dolar AS per hari, naik dari sebelumnya 6,85 dolar AS. Implikasi dari perubahan ini menyebabkan persentase penduduk miskin Indonesia versi Bank Dunia melonjak menjadi 68,25 persen.
BPS sendiri menanggapi perbedaan tersebut. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, menjelaskan bahwa PPP digunakan Bank Dunia untuk menyamakan daya beli lintas negara dan dihitung berdasarkan median dari 37 negara, bukan khusus untuk Indonesia. Selain itu, nilai tukar dolar AS yang digunakan bukan kurs aktual harian.
Sementara itu, BPS mengukur garis kemiskinan berdasarkan kebutuhan dasar makanan dan nonmakanan melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilaksanakan dua kali setahun. Survei ini merekam pola konsumsi serta pengeluaran penduduk.
Sejumlah ekonom menyarankan BPS memperbarui metode pengukuran kemiskinan agar lebih relevan dengan kondisi ekonomi dan sosial saat ini.
Direktur Kebijakan Publik Celios, Media Wahyudi Askar, menilai bahwa pendekatan Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM) sudah tidak lagi sesuai dengan kompleksitas kehidupan kontemporer yang multidimensional.
Senada, Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, berpendapat bahwa garis kemiskinan nasional saat ini terlalu rendah dan perlu disesuaikan secara bertahap dengan pendekatan global seperti yang diterapkan Bank Dunia.