REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana menilai ada keterkaitan antara kualitas gizi masyarakat dengan performa permainan pemain sepak bola Indonesia.
“Jangan heran kalau PSSI sulit menang karena main 90 menit berat. Kenapa? Karena gizinya tidak bagus dan banyak pemain bola lahir dari kampung,” ujarnya di Pendopo Kementerian Pekerjaan Umum, Jakarta, Sabtu (22/3/2025).
Kini, kualitas pemain Indonesia dianggap sudah relatif baik, karena sekitar 17 orang merupakan pemain naturalisasi yang telah memperoleh gizi baik di negara awal asal mereka seperti Belanda. Dadan menilai, olahraga bukan hanya soal latihan semata, tetapi juga perihal kecerdasan dalam bermain dan membaca permainan lawan.
Oleh karena itu, melalui program Makan Bergizi Gratis (MBG), pihaknya mengharapkan bayi yang masih di dalam kandungan, balita, serta anak SD hingga SMA dapat diintervensi agar mereka memiliki gizi baik dan dapat menjadi tenaga kerja produktif berkualitas dalam 20 tahun mendatang.
Saat ini, Indonesia disebut menghadapi situasi pertambahan penduduk yang sangat tinggi dengan rata-rata kelahiran 6 orang per menit atau 3 juta per tahun hingga total jumlah warga tanah air mencapai 280 juta jiwa. Pada 2045, ketika 100 tahun Indonesia merdeka, diperkirakan total penduduk hingga 324 juta.
Salah satu faktor sumber pertumbuhan penduduk berasal dari angka rumah tangga keluarga miskin dan rentan miskin. Berdasarkan data, apabila ada 100 keluarga miskin, maka 78 keluarga memiliki anak tiga dan 12 keluarga anak dua. Jika 100 keluarga miskin dan rentan miskin digabungkan, maka 50 keluarga mempunyai 3 anak dan 50 keluarga sisanya memiliki dua anak.
“Di situ sumber pertumbuhan penduduk Indonesia dari dulu, sampai sekarang, dan yang akan datang. Jadi Pak Presiden gelisah, kalau kita tidak intervensi (dengan program Makan Bergizi Gratis), ini kelompok ini 60 persen tidak pernah melihat menu dengan gizi seimbang. Kalau makan itu ada nasi, ada bala-bala, ada mi atau bihun, kerupuk, kecap ada semua karbohidrat. Itu sudah cukup bagi mereka bahagia, yang penting asal bisa hidup, dan 60 persen dari anak kelompok ini tidak pernah minum susu bukan karena tidak mau, tapi tak mampu minum susu,” ujar Dadan pula.
Adapun pertumbuhan penduduk angka rumah tangga kalangan atas dan menengah dinilai tak memberikan pengaruh signifikan pertambahan penduduk.
“Jadi, kalau ada 100 orang keluarga kelas atas, itu 84 keluarga anaknya satu, 16 keluarga tidak punya anak.. (lalu) kalau ada 100 orang kelas menengah, 12 keluarga anaknya dua, 88 anaknya satu,” kata Kepala BGN itu lagi.