REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengelolaan Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) menjadi sorotan tajam publik belakangan ini usai diluncurkan oleh Presiden RI Prabowo Subianto pada Senin (24/2/2025). Pasalnya, respons pasar terhadap Sovereign Wealth Fund (SWF) baru Indonesia tersebut dinilai kurang bergairah, terlihat dari pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan dalam dalam sepekan terakhir.
Direktur Utama Bursa Efek Indonesia Iman Rachman menyampaikan bahwa pada perdagangan saham periode 21—27 Februari 2025, IHSG mengalami penurunan 4,7 persen (week on week/wow). Pada perdagangan Jumat (28/2/2025), IHSG bergerak ke posisi 6.300-an.
Iman tidak mengungkapkan secara gamblang bahwa Danantara memberikan efek besar terhadap kejatuhan IHSG tersebut. Namun, ia memberi atensi pada isu Danantara yang menjadi sorotan publik belakangan ini, mengingat BUMN-BUMN beserta anak perusahaan BUMN yang tergabung dalam Danantara merupakan emiten-emiten yang berkontribusi jumbo di pasar modal Indonesia.
Menurut catatannya, dari tujuh BUMN besar beserta anak-anak perusahannya yang terdaftar di BEI mencatatkan nilai kapitalisasi pasar (market cap) sebesar Rp 1.883 triliun.
Angka tersebut menunjukkan kontribusinya mencapai sekitar 15 persen dari total nilai kapitalisasi pasar sebesar Rp 12.300 triliun (per Desember 2024). Adapun dari sisi perdagangan, kontribusi BUMN-BUMN di bawah Danantara yang ada di BEI menyumbang 27 persen.
“Artinya bahwa secara jumlah perusahaan (emiten) memang dari 800 hanya 12, tapi secara jumlah perusahaan dan trading value-nya cukup signifikan berdampak pada transaksi di pasar modal,” ungkapnya.
Iman juga mengungkapkan, secara historical value, BUMN-BUMN di dalam Danantara mencatatkan kenaikan saham yang terbilang fantastis sejak listing atau pencatatan saham perdana (initial public offering/IPO). Rata-rata kenaikannya mencapai hingga 4.000 persen. Misalnya PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang mencapai 4.700 persen, PT Bank Mandiri 3.300 persen, dan PT Telkom Indonesia sebesar 1.326 persen.
“Kita ingin melihat perusahaan-perusahaan di Danantara ini menjadi campaign di industrinya. Tentu kita berharap bank Himbara, Telkom, dan lain-lain tidak hanya market kita terbesar di Indoensia, tapi juga di Asia. Tentu saja ini akan meningkatkan market cap,” ujarnya.
Iman melanjutkan, adapun dari segi fundraising atau penghimpunan dana BUMN dari pasar modal adalah Rp 160 triliun. Itu menunjukkan bahwa pasar modal memiliki peran dalam memperbesar investasi BUMN di bawah BPI Danantara. Aset BPI Danantara sendiri diketahui sekitar 900 miliar dolar AS atau sekira Rp 14.000 triliun.
“Peran pasar modal bagi investasi nanti perusahaan-perusahaan di bawah Danantara ini cukup besar, hampir 60 persen,” ungkapnya.
Lebih lanjut, dengan beragam peluang dan potensi tersebut, Iman pun meyakini bahwa BPI Danantara akan bisa lebih ‘menyala’ nantinya. Hanya saja, memang butuh waktu untuk membuktikannya.
“BEI perlu juga memberi support terhadap pembentukan Danantara, dan berikan waktu terhadap Danantara. Kalau kita bicara market, itu kan persepsi yang hari ini terjadi. Berikan waktu bagi Danantara untuk menjelaskan dan prove bisnis modelnya. Jadi kami melihat ini suatu hal yang positif. Saya cukup positif melihat Danantara lebih agile,” ungkapnya.