REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ekonom Universitas Paramadina, Adrian A Wijanarko, menilai rencana pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen berpotensi meningkatkan penerimaan negara secara signifikan. Namun, ia juga mengingatkan adanya dampak negatif yang perlu diantisipasi, terutama bagi generasi Z dan milenial.
“Kenaikan PPN menjadi 12 persen memang dapat memperbesar kontribusi pajak terhadap pendapatan negara. Sebagai salah satu sumber penerimaan utama, kebijakan ini dirancang untuk mendukung pembiayaan pembangunan, terutama infrastruktur dan pelayanan publik,” ujar Adrian dalam diskusi daring dikutip Sabtu (7/12/2024).
Namun, lanjut Adrian, kebijakan tersebut tidak lepas dari konsekuensi sosial dan ekonomi, terutama bagi generasi muda. “Generasi milenial dan Z, yang sudah menghadapi tekanan ekonomi, akan terkena dampak langsung dari kebijakan ini. Harga barang dan jasa akan meningkat, yang pada akhirnya mengurangi daya beli mereka,” jelasnya.
Adrian menjelaskan, kenaikan PPN menjadi 12 persen merupakan langkah strategis untuk memperkuat penerimaan negara, terutama di tengah tekanan ekonomi global. “Dengan PPN yang lebih tinggi, pemerintah bisa mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri dan menjaga stabilitas fiskal,” katanya.
Namun, ia mengingatkan PPN adalah pajak konsumsi yang dibebankan langsung kepada konsumen. “Ini artinya, beban akan jatuh pada masyarakat, khususnya kelompok usia produktif yang menjadi mayoritas konsumen. Generasi muda akan semakin selektif dalam pengeluaran mereka, berfokus pada kebutuhan pokok seperti makanan dan transportasi,” tambah Adrian.
Dari perspektif manajemen keuangan, Adrian menyoroti dampak kenaikan PPN terhadap perilaku keuangan generasi muda. “Biaya hidup yang meningkat akan memengaruhi alokasi pendapatan mereka, mulai dari kebutuhan harian, pembayaran utang, hingga tabungan. Jika pengeluaran membengkak, saving behavior generasi muda akan menurun drastis,” jelasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa rendahnya tabungan membuat generasi muda lebih rentan terhadap kebutuhan darurat, seperti biaya kesehatan atau perbaikan mendadak. Dalam jangka panjang, hal ini bisa melemahkan stabilitas keuangan individu dan memperburuk ketimpangan sosial.
Di sisi lain, Adrian melihat peluang bagi pelaku UMKM di tengah kenaikan PPN ini. Menurutnya, tekanan ekonomi akan mendorong masyarakat beralih ke produk lokal yang lebih terjangkau.
"Generasi muda akan meninggalkan produk mahal dan mulai mencari alternatif yang lebih ekonomis. Ini adalah momentum bagi UMKM untuk meningkatkan daya saing mereka,” katanya.
Oleh karena itu pentingnya inovasi dan peningkatan kualitas produk oleh UMKM. Karena, untuk memenuhi kebutuhan konsumen yang semakin selektif, UMKM perlu beradaptasi dengan tren dan meningkatkan standar produk mereka.
Adrian juga mengingatkan pemerintah untuk mempertimbangkan dampak psikologis dari kebijakan ini. Ia mengutip fenomena “vibescession” di mana masyarakat tetap pesimistis terhadap kondisi ekonomi meskipun data makro menunjukkan perbaikan.
“Jika masyarakat merasa terbebani, konsumsi akan menurun, dan ini bisa berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah perlu memberikan insentif atau stimulus yang mampu mengimbangi dampak kenaikan PPN, seperti subsidi untuk barang kebutuhan pokok atau dukungan bagi UMKM,” jelasnya.
“Kenaikan PPN harus diimbangi dengan kebijakan yang mendukung daya beli masyarakat, agar dampak negatif terhadap generasi muda dapat diminimalkan. Dengan begitu, target penerimaan negara dapat tercapai tanpa mengorbankan stabilitas ekonomi jangka panjang,” tambah Adrian.