Jumat 29 Nov 2024 16:15 WIB

Kenaikan Tarif PPN Dikabarkan Ditunda, Rupiah Langsung Menguat

Ibrahim melanjutkan, penguatan rupiah juga dipengaruhi oleh sentimen eksternal.

Rep: Eva Rianti/ Red: Ahmad Fikri Noor
Teller menghitung mata uang dolar AS dan rupiah.
Foto: Dok Republika
Teller menghitung mata uang dolar AS dan rupiah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Mata uang rupiah mengalami penguatan pada akhir perdagangan pekan ini. Pengamat menilai, di antara faktor yang memengaruhi penguatan rupiah adalah adanya kabar bahwa kebijakan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen yang rencananya bakal diberlakukan 1 Januari 2025, kemungkinan besar akan ditunda.

Mengutip Bloomberg, rupiah menguat 24 poin atau 0,15 persen menuju level Rp 15.847,5 per dolar AS pada penutupan perdagangan Jumat (29/11/2024). Pada perdagangan sebelumnya, Mata Uang Garuda berada di level Rp 15.871,5 per dolar AS.

Baca Juga

“Sebelumnya, masyarakat mengingatkan agar pemerintah berhati-hati membuat regulasi terkait kenaikan pajak sebesar 12 persen karena kondisi ekonomi global saat ini sedang tidak baik-baik saja, sehingga akan berpengaruh terhadap menurunkan daya beli masyarakat,” kata Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi dalam keterangannya, Jumat (29/11/2024).

Ibrahim mengatakan, memang pemerintah menerapkan tarif pajak sebesar 12 persen sesuai dengan amanat Undang-Undang yang sudah disetujui oleh DPR RI serta disahkan oleh pemerintah. Namun, salah satu permasalahan dalam perpajakan adalah masih rendahnya tax ratio Indonesia dibandingkan negara G20 serta beberapa negara di ASEAN.

Seiring dengan banyaknya penolakan dari berbagai pihak atas rencana pemberlakuan kenaikan PPN tersebut, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan bahwa rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen kemungkinan besar akan ditunda. Penundaan tersebut dilakukan untuk memberi ruang bagi pemerintah dalam menyediakan stimulus berupa subsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Subsidi akan diberikan dalam bentuk bantuan sosial (bansos) berupa subsidi listrik. Kebijakan ini dipilih untuk menghindari risiko penyalahgunaan dana Bantuan Langsung Tunai (BLT).

“Anggaran pemerintah cukup untuk mendanai subsidi tersebut, walaupun kebijakan ini masih dalam tahap usulan dan perancangan. Selain itu, penerimaan pajak nasional berada dalam kondisi baik, sehingga terdapat dana yang memadai untuk mendukung program stimulus tersebut,” terangnya.

Sentimen Eksternal

Ibrahim melanjutkan, penguatan rupiah juga dipengaruhi oleh sentimen eksternal. Terutama mengenai ekspektasi pasar soal pemangkasan suku bunga The Federal Reserve.

“Pasar mempertahankan ekspektasi bahwa Federal Reserve akan tetap memangkas suku bunga pada Desember. Para pedagang terlihat bertaruh pada peluang 68,6 persen bahwa Fed akan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin, dan peluang 31,4 persen bahwa suku bunga akan tetap tidak berubah, menurut CME Fedwatch,” ujar Ibrahim.

Ia menuturkan, taruhan pada pemangkasan Desember terus berlanjut meskipun data terbaru menunjukkan ketahanan inflasi AS. Sementara pejabat Fed mendukung pelonggaran suku bunga secara bertahap.

“Namun, prospek jangka panjang untuk suku bunga AS tidak pasti, mengingat inflasi masih jauh di atas target Fed sebesar 2 persen. Kebijakan ekspansif di bawah Trump juga diharapkan akan mendukung inflasi dan suku bunga. Sejumlah pejabat Fed, termasuk Ketua Jerome Powell, akan memberikan pidato minggu depan, sebelum keputusan suku bunga pada bulan Desember,” jelasnya.

Selain itu, lanjut Ibrahim, sentimen eksternal lainnya yang memengaruhi penguatan rupiah yakni kondisi ketegangan geopolitik antara Rusia dan Ukraina.

“Rusia pada Kamis melancarkan serangan besar kedua terhadap infrastruktur energi Ukraina bulan ini, karena Moskow meningkatkan serangannya terhadap Ukraina atas penggunaan senjata buatan Barat oleh Kyiv. Presiden Vladimir Putin mengancam akan menggunakan rudal balistik baru untuk menyerang pusat-pusat pengambilan keputusan di Ibu Kota Ukraina,” kata dia.

Sementara itu, di Asia, pasar China mengalami sedikit kelegaan menyusul laporan bahwa AS mungkin mengenakan sanksi yang tidak terlalu berat pada industri semikonduktor China dibandingkan dengan proposal sebelumnya.

“Indeks manajer pembelian yang akan dirilis pada Sabtu diperkirakan akan menunjukkan sektor manufaktur Tiongkok menandai pertumbuhan moderat untuk bulan kedua berturut-turut pada bulan November, menurut jajak pendapat Reuters. Angka itu muncul saat Beijing mengeluarkan serangkaian langkah stimulus utama dalam beberapa bulan terakhir,” ujar Ibrahim.

Berdasarkan faktor-faktor internal maupun eksternal tersebut, Ibrahim memprediksi bahwa nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan melanjutkan penguatan. Ia memprediksi pada perdagangan selanjutnya, Senin (2/12/2024), rupiah akan menguat di rentang Rp 15.750—Rp 15.850 per dolar AS. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement