Kamis 21 Nov 2024 20:31 WIB

Legislator Minta Pemerintah Kaji Kenaikan Tarif PPN

Kondisi ekonomi Indonesia saat ini sedang kurang baik.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Satria K Yudha
Pengunjung berbelanja di salah satu stan produk outdoor pada pameran Indonesia Outdoor Festival 2024 di Hall B Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Ahad (7/7/2024).
Foto: Republika/Thoudy Badai
Pengunjung berbelanja di salah satu stan produk outdoor pada pameran Indonesia Outdoor Festival 2024 di Hall B Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Ahad (7/7/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi XI DPR Anis Byarwato meminta pemerintah mempertimbangkan kembali rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen pada awal 2025. Anis menilai kenaikan PPN  tidak selaras dengan kondisi ekonomi terkini. 

"Saat UU HPP dibentuk pada 2021, asumsi yang digunakan saat ini adalah pada 2025 diperkirakan ekonomi sudah pulih bahkan meningkat," ujar Anis dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (21/11/2024).

Baca Juga

Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi dan Keuangan itu menyampaikan kondisi ekonomi Indonesia saat ini sedang kurang baik berdasarkan seluruh indikasi indikasi ekonomi. Anis mengatakan Indonesia mengalami deflasi selama lima bulan beruntun yang menjadi sinyal melemahnya daya beli masyarakat.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), lanjut Anis, pertumbuhan ekonomi nasional kuartal III 2024 melambat di angka 4,95 persen year on year (yoy). Pun dengan konsumsi rumah tangga yang melambat dengan hanya naik 4,91 persen (yoy) atau lebih rendah dari kuartal sebelumnya yang sebesar 4,93 persen. 

"Maka konsumsi masyarakat sangat membutuhkan berbagai stimulus dari pemerintah agar membaik," ucap Anis. 

Anis mengungkapkan laporan BPS juga menunjukkan proporsi kelas menengah pada 2024 tercatat sebesar 47,85 juta jiwa, melorot dibandingkan periode prapandemi pada 2019 yang mencapai 57,33 juta jiwa. Anis mengatakan sebanyak 9,48 juta kelas menengah turun kelas.  

"Sebaliknya, kelompok aspiring middle class atau kelas menengah rentan menunjukkan peningkatan jumlah, yakni dari 128,85 juta jiwa pada 2019 menjadi 137,5 juta jiwa pada 2024," sambung Anis.

Anis menyebut data yang dikeluarkan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) sejak awal hingga 15 November 2024 terdapat sekitar 64.288 tenaga kerja yang terkena PHK di Indonesia. Jumlahnya naik dari akhir Oktober yang tercatat sebesar 63.947 tenaga kerja. 

"Jadi pascapandemi ini memang banyak industri yang tidak kembali pulih, PHK tertinggi dari sektor manufaktur, termasuk di industri tekstil," lanjut Anis.

Anis mengatakan, berdasarkan kajian yang dilakukan oleh INDEF, kenaikan tarif PPN sebanyak 12 persen akan mengakibatkan kontraksi pada perekonomian Indonesia. Anis menyampaikan kenaikan PPN akan berdampak negatif terhadap ekonomi mulai dari dampak terhadap menurunnya pertumbuhan ekonomi, naiknya inflasi, turunnya konsumsi rumah tangga, dan minusnya ekspor serta impor.

Anis mengingatkan pemerintah masih terdapat ruang dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) untuk mengkoreksi tarif PPN 12 persen yang berlaku di Januari 2024. Berdasarkan UU HPP pasal 7 ayat 3 dan ayat 4, Anis menyampaikan  tarif PPN dapat disesuaikan menjadi paling rendah lima persen dan paling tinggi 15 persen dengan kebijakan negara yang diatur oleh PP dengan persetujuan DPR.

"Ini ruang yang bisa digunakan dengan mempertimbangkan situasi ekonomi saat ini," kata Anis. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement