Sabtu 26 Oct 2024 09:12 WIB

Ini Alasan Mengapa Pemerintah Perlu Melakukan Reformasi Subsidi Energi

Kebijakan subsidi sebagian besar menguntungkan kelompok masyarakat yang lebih kaya.

Rep: Frederikus Bata  / Red: Lida Puspaningtyas
Menjelang Idul Adha 2024, Pertamina Patra Niaga terus melakukan monitor pergerakan kebutuhan BBM dan LPG masyarakat. Terpantau terjadi peningkatan Biosolar dan LPG 3 kg.
Foto: Pertamina Patra Niaga
Menjelang Idul Adha 2024, Pertamina Patra Niaga terus melakukan monitor pergerakan kebutuhan BBM dan LPG masyarakat. Terpantau terjadi peningkatan Biosolar dan LPG 3 kg.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Reformasi subsidi energi merupakan sesuatu yang vital. Hal ini ditegaskan oleh Analis Kebijakan Energi International Institute for Sustainable Development (IISD), Anissa Suharsono dalam sebuh diskusi yang digagas Yayasan Indonesia Cerah, di Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (25/10/2024).

Ada beberapa hal yang melatarbelakangi pernyataannya. Pertama, kebijakan pemerintah memberikan subsidi energi meningkatkan beban anggaran negara. "Karena subsidi energi sifatnya sangat mempersempit ruang fiskal kita untuk bisa membiayai program-program lain yang produktif," kata Anissa.

Baca Juga

Kedua, kebijakan subsidi sebagian besar menguntungkan kelompok masyarakat yang lebih kaya, sementara kelompok rentan terus kekurangan akses terhadap energi. Ketiga masyarakat terpinggirkan, kelompok perempuan dan penduduk di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar).

Anissa sedikit menyinggung sejarah alokasi subsidi energi dari tahun ke tahun. Ia mengacu pada situasi 2014 ke 2015. Itu di periode pertama Presiden Joko Widodo.

"Beliau melakukan gebrakan reformasi subsidi BBM."

Anissa menilai saat itu momentumnya cukup baik bagi Jokowi. Harga minyak dunia sedang turun. Indonesia mampu menghapus sebagian besar subsidi bensin dan solar di tahun 2015.

Kebijakan tersebut, membuat negara menghemat pengeluaran sekitar Rp 211 triliun. "Nah subsidi energi yang di tahun 2014 itu tadinya memakan sekitar 19 persen porsi belanja pemerintah pusat, di tahun 2015 berhasil diturunkan sampai sekitar 7 persen," ujar Analis Kebijakan Energi IISD ini.

Berikutnya, tentang subdisi LPG. Dari semua subsidi energi, jelas Anissa, subsidi LPG 3 Kg selalu menjadi item paling besar. Trennya juga terus meningkat. Menurutnya, sudah diakui pemerintah ini subsidi yang paling tidak tepat sasaran.

Pasalnya, hampir 80 persen dinikmati rumah tangga mampu. Bukan untuk golongan yang benar-benar layak menerima. Berkali-kali dilakukan perbaikan skema distribusi LPG 3 Kg ini.

"Mulai dari pakai apps, pakai QR, pakai face scanner, bermacam-macam uji coba dilakukan. Tapi hasilnya masih belum ada yang bisa benar-benar efektif untuk membatasi distribusi benar-benar hanya untuk yang kaum rentan saja," ujar Anissa.

Kemudian, perihal tren kenaikanbesarnya subsidi energi. Proporsi tren subsidi bahan bakar fosil di Indonesia, selama 10 tahun terakhir kurang lebih sama, dengan tekanan fiskal yang meningkat di sektor-sektor yang tidak menerapkan penyesuaian harga yaitu di oil and gas. Ini karena keberhasilan awal dalam melakukan reformasi subsidi yang dari 2014 ke 2015, itu tidak diikuti oleh penerapan sistem baru yang konsisten.

Jadi sebetulnya, lanjut Anissa, di tahun 2015 itu ada sistem menerapkan harga BBM dan listrik yang dievaluasi secara berkala dan dilakukan adjustment sesuai harga pasar. Itu tidak dilakukan dengan konsisten. Malah muncul budget item baru dalam bentuk kompensasi tarif listrik dan BBM.

Jadi untuk anggaran energi ini ada dua budget item yang berbeda. Ada subsidi, ada kompensasi. Dua-duanya yaitu diambil dari BBM.

"Jadi mengapa reformasi subsidi energi itu penting ya? Karena kebijakan memberikan subsidi energi ini meningkatkan beban anggaran negara, sebagian besar menguntungkan kelompok masyarakat yang lebih kaya, sementara kelompok rentan itu boro-boro dapat subsidi, malah banyak yang untuk aksesnya saja sulit. Masyarakat terpinggirkan dan daerah 3T itu seringkali tidak menerima subsidi energi," tutur Anissa mempertegas pernyataannya.

Ia melihat di periode awal Prabowo, didukung koalisi super gemuk. Sejauh ini, belum ada yang tegas menyatakan sebagai oposisi. Menurut Anissa, keadaan demikian bisa menjadi momentum tepat bagi Presiden untuk mengambil keputusan berani, salah satunya dengan melakukan reformasi subsidi.

Anissa memiliki beberapa poin rekomendasi untuk pemerintah. Pertama, reformasi dengan implementasi direct-targeted subsidy sangat diperlukan agar subsidi tersebut dapat langsung diberikan kepada masyarakat yang benar-benar membutuhkan. Kedua, pemerintah perlu mereformasi subsidi energi dengan digitalisasi penyaluran untuk memastikan subsidi tepat sasaran. Reformasi ini harus didukung oleh verifikasi data kependudukan yang akurat serta penyesuaian harga energi secara bertahap disertai kompensasi bagi kelompok rentan untuk memitigasi dampak negatif.

Ketiga, pemerintah perlu menerapkan mekanisme penetapan harga energi yang lebih fleksibel dan berbasis pasar, termasuk regional tariff pricing & penerapan tarif progresif berdasarkan volume konsumsi energi untuk mendorong efisiensi,mengurangi ketergantungan pada subsidi dan mendukung percepatan transisi energi bersih. Keempat, subsidi bahan bakar fosil perlu dihilangkan. Kelima, mengalihkan penghematan anggaran untuk pos pengeluaran lain yang lebih produktif.

Keenam, memastikan inklusivitas kebijakan dan partisipasi sosial dalam transisi energi. Terakhir, mengadopsi Peta Jalan Aspek Sosial dan Manusia untuk Mendukung NZE 2060. Perinciannya, mengembangkan peta jalan yang mengidentifikasi risiko sosial, rencana mitigasi, dan kebijakan yang mendukung inklusi dan keadilan sosial. Fokus pada perlindungan pekerjaan, kesetaraan akses energi, dan pemberdayaan kelompok rentan, disertai pemantauan dampak sosial serta evaluasi kebijakan. Menyusun indikator keberhasilan yang mencakup aspek sosial dan manusia, seperti pengurangan kemiskinan energi, peningkatan kualitas hidup, dan penurunan ketimpangan sosial.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement