Rabu 09 Oct 2024 13:46 WIB

Tunjangan Perumahan DPR, Ekonom: Apa Urgensinya?

Tunjangan senilai Rp 50 juta per bulan terlihat sangat mahal.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Gita Amanda
Petugas kebersihan menyiram halaman depan rumah jabatan anggota DPR di kawasan Kalibata, Senin (7/10/2024). Sekjen DPR Indra Iskandar menyebutkan bahwa rumah dinas yang ditempati anggota DPR sudah tidak ekonomis sebagai sebuah hunian karena sebagian besar kondisi rumah dinas itu sudah rusak dan tidak layak ditinggali.
Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Petugas kebersihan menyiram halaman depan rumah jabatan anggota DPR di kawasan Kalibata, Senin (7/10/2024). Sekjen DPR Indra Iskandar menyebutkan bahwa rumah dinas yang ditempati anggota DPR sudah tidak ekonomis sebagai sebuah hunian karena sebagian besar kondisi rumah dinas itu sudah rusak dan tidak layak ditinggali.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana pemberian tunjangan perumahan bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menuai polemik. Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Etikah Karyani Suwondo menyebut kebijakan itu tidak memiliki sensitivitas terhadap kondisi ekonomi Indonesia. 

"Pemberian tunjangan rumah bagi anggota DPR cukup kontroversial dan dipertanyakan tentang urgensi serta efektivitasnya dalam penggunaan anggaran negara," ujar Etikah saat dihubungi Republika di Jakarta, Rabu (9/10/2024).

Baca Juga

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Sebelas Maret (UNS) itu memaklumi kegeraman masyarakat terhadap rencana pemberian tunjangan perumahan. Etika mengatakan parlemen sebagai wakil rakyat seharusnya dapat mengedepankan empati dalam memutuskan sebuah kebijakan. 

"Tunjangan ini senilai Rp 50 juta per bulan terlihat sangat mahal, apalagi rakyat saat ini sedang dihadapi dengan banjirnya PHK, permasalahan pendapatan kelas menengah yang makin sulit mendapatkan hunian layak," ucap Etika. 

Etika menyampaikan rencana anggota DPR tak lagi menempati fasilitas rumah dinas dan diganti tunjangan perumahan bisa saja tidak terealisasi. Etika menilai DPR tidak dapat mengabaikan penolakan suara masyarakat yang menaruh aspirasi saat pemilu lalu. 

"Artinya, jika pemberian tunjangan ini tidak mendapatkan dukungan publik yang kuat, maka kebijakan ini menjadi tidak memiliki urgensi. Selain itu, masalah ini terkait dengan isu pemborosan dan keraguan dalam pengelolaan anggaran," kata Etika. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement