Ahad 22 Sep 2024 17:43 WIB

INDEF: Harga Pangan Tinggi Jadi Dalang Turunnya Kelas Menengah

Nyaris 10 juta penduduk mengalami penurunan kelas menengah ke rentan miskin.

Rep: Frederikus Bata/ Red: Gita Amanda
Penurunan kelas menengah ke rentan, yang salah satu faktornya didorong oleh beban untuk pengeluaran makanan minuman. (ilustrasi)
Foto: Prayogi/Republika
Penurunan kelas menengah ke rentan, yang salah satu faktornya didorong oleh beban untuk pengeluaran makanan minuman. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fenomena menyusutnya kelas menengah di Indonesia menjadi salah satu topik hangat yang dibahas. Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menunjukkan data dalam lima tahun terakhir, nyaris 10 juta penduduk mengalami penurunan kelas menengah ke rentan miskin.

Perinciannya pada 2019, sebanyak 57,33 juta jiwa merupakan kelas menengah. Pada 2020 turun ke angka (53,83 juta jiwa), 2021 tetap di angka yang sama. Lalu 2022 (49,51 juta jiwa), 2023 (48,27), dan 2024 (47,85). Dari 2019-2024, masayarakat kelas menengah yang mengalami penurunan level tingkat ekonomi, tepatnya berada di angka 9,48 juta jiwa. Perlu diketahui, kelas menengah adalah mereka yang memiliki pengeluaran antara 3,5 hingga 17 kali garis kemiskinan. Atau sekitar Rp 2.040.262 - Rp 9.909.844 kapita per bulan. 

Baca Juga

"Penurunan kelas menengah ke rentan, yang salah satu faktornya didorong oleh beban untuk pengeluaran makanan dan minuman (41,67 persen)," kata Kepala Center of Food, Energy and Sustainable Development  INDEF, Abra Talattov dalam diskusi  JUARA (Forum Jurnalis dan Akademisi) bertajuk Pengutan Ketahanan Pangan dan Pengentasan Kemiskinan: Pekerjaan Rumah Pemerintah Prabowo-Girbran, disiarkan secara langsung lewat media sosial LP3ES, Ahad (22/9/2024).

Di awal pemaparannya, ia menunjukkan buku hasil pemikiran F. X. Sugiyanto (Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang). Isinya tentang permasalahan di sektor pangan. Isu ini erat kaitannya dengan kesejahteraan masyarakat. Ternyata setelah 17 tahun berlalu, apa yang ia baca masih relevan hingga sekarang.

"Sampai hari ini, saya lihat realitasnya tidak begitu berubah. Bahkan saya merasakan terjadi penurunan kinerja di sektor pangan yang sangat drastis. Ini tentu sangat miris bagi kami anak-anak muda yang melihat setiap pergantian kepemimpinan memiliki asa, harapan yang mestinya bisa ditunaikan," ujar Abra.

Sebagai latar belakang diskusi ini, tim Juara memuncukkan data angka kemiskinan di Indonesia memang telah mengalami penurunan dalam tiga tahun terakhir, dari 10,14 persen pada 2021 menjadi 9,03 persen pada 2024. Begitu pula angka kemiskinan ekstrem yang menurun dari 2,25 persen di 2020 menjadi 0,83 persen pada tahun 2024. Namun, menurut Bank Dunia, tingkat kemiskinan ini masih dianggap tinggi, dan Indonesia belum memenuhi target penurunan kemiskinan ekstrem menjadi nol persen sebagaimana ditargetkan pemerintah tahun 2024. Global Finance mencatat Indonesia sebagai salah satu dari 100 negara termiskin di dunia pada tahun 2023.

Di Jawa Tengah, masalah kemiskinan juga masih menjadi perhatian. Litbang Kompas mencatat pada tahun 2023 terdapat 3,79 juta penduduk miskin, atau 10,77 persen dari seluruh populasi di provinsi tersebut. Dengan kata lain, masih ada 3,79 juta jiwa di Jawa Tengah yang pengeluarannya dalam sebulan berada di bawah standar garis kemiskinan versi BPS, yaitu Rp 472.525.

Masalah kemiskinan di Indonesia, termasuk di Jawa Tengah, sangat berkaitan dengan lemahnya ketahanan pangan. Saat ini, Indonesia belum memiliki solusi pengembangan ketahanan pangan yang handal dan masih bergantung pada impor beberapa komoditas pangan, termasuk beras. Hal ini menunjukkan bahwa kemandirian pangan belum tercapai.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement