REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Muncul wacana skema pemberian subsidi KRL Jabodetabek menjadi berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK). Pemerintah berpotensi menerapkan kebijakan ini mulai tahun depan.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal merespon hal ini. Jika dilihat secara keseluruhan, ia menilai rencana tersebut berkaitan dengan keterbatasan anggaran untuk subsidi. Sementara pengguna KRL, terus meningkat.
"Sehingga ketika subsidi itu dipukul rata ke semua pengguna, jumlah pemakainya makin lama, makin banyak, maka otomatis anggaran subsidi untuk KRL, otomatis makin meningkat," kata Faisal kepada Republika.co.id, Jumat (30/8/2024).
Ia kembali ke substansi subsidi. Pada intinya, subsidi harus diberikan ke kalangan menengah ke bawah. Kata lainnya ke individu yang benar-benar membutuhkan.
Menurut Faisal, apa yang terjadi di KRL nantinya, mirip dengan BBM subsidi. Banyak ketidaktepatan sasaran selama ini. Sehingga anggaran membengkak dan bisa membebani APBN.
"Tapi sama, ketika ingin melakukan pemberian subsidi berdasarkan NIK, maka perlu dilakukan kajian yang cukup matang. Perlu ada dialog intensif dengan para pakar, akademisi, dan lain-lain, sehingga menghindari kelemahan dalam implementasinya," ujar Direktur Eksekutif CORE Indonesia ini.
Selanjutnya, sosialisasi harus dilakukan secara masif. Ini demi menghindari adanya salah persepsi. Paling penting, kata Faisal, jangan sampai sistem seleksi berdasarkan NIK tetap memunculkan kesalahan dalam implementasi.
"Artinya sistem database yang valid, akurat juga harus diperkuat. Juga evaluasinya, jika terjadi kesalahan dalam pendataan, berkaitan dengan sasaran penggunanya," tuturnya.
Dalam Dokumen Nota Keuangan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2025 disebutkan subsidi PSO dalam RAPBN tahun anggaran 2025 direncanakan sebesar Rp7.960,1 miliar (Rp7,9 triliun).
Lebih rinci lagi, anggaran belanja Subsidi PSO tahun anggaran 2025 yang dialokasikan kepada PT Kereta Api Indonesia (Persero) sebesar Rp4.797,1 miliar (Rp4,79 triliun) untuk mendukung perbaikan kualitas dan inovasi pelayanan kelas ekonomi bagi angkutan kereta api antara lain KA ekonomi jarak jauh, KA ekonomi jarak sedang, KA ekonomi jarak dekat, KA ekonomi Lebaran, KRD ekonomi, KRL Jabodetabek, KRL Yogyakarta, dan LRT Jabodebek.
Ada poin dimana penerapan tiket elektronik berbasis NIK kepada pengguna transportasi KRL Jabodetabek. Dengan perubahan skema subsidi berbasis NIK, artinya tidak semua masyarakat bisa menerima layanan KRL dengan harga yang seperti sekarang.
"Penerapan tiket elektronik berbasis NIK kepada pengguna transportasi KRL Jabodetabek," demikian kutipan isi dokumen tersebut.
Sejak 2016 tarif KRL Jabodetabek masih sama. Besaran tarifnya sebesar Rp 3.000 untuk 25 kilometer (km) pertama dan ditambah 1.000 untuk setiap 10 kilometer.