REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk atau BTN mengusulkan skema dana abadi untuk membiayai program 3 juta rumah yang dicanangkan oleh pasangan capres-cawapres terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
"Kami mengusulkan skema, ini sudah dibahas dengan pemerintah, kombinasi antara FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) dan subsidi selisih bunga, yaitu kalau pemerintah dalam tiap tahun kasih FLPP sekitar Rp 19-25 triliun, dengan uang yang sama dijadikan dana abadi," kata Direktur Utama BTN Nixon LP Napitupulu di Jakarta, Kamis (25/4).
Ia menjelaskan, program 3 juta rumah pada lima tahun masa pemerintahan baru akan sulit dicapai jika tetap menggunakan skema FLPP untuk subsidi kredit kepemilikan rumah (KPR). Hal ini, menurut dia, akan membebani APBN.
"Karena FLPP itu seluruh kebutuhan likuiditasnya disediakan oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Menurut saya itu berat, untuk program rumah yang jumlahnya naik tiga kali lipat (dibandingkan dengan program 1 juta rumah pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo)," kata dia.
Oleh sebab itu, menurut dia, diperlukan skema terobosan untuk mengatasi hal tersebut, yaitu melalui pembentukan dana abadi yang diusulkan BTN. Dana abadi tersebut menggunakan dana FLPP yang selama ini dikelola melalui Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera), untuk diputar atau diinvestasikan di instrumen tertentu.
Imbal hasil atau keuntungan dari investasi nantinya untuk membayar subsidi selisih bunga. Dengan begitu, harapannya target pembangunan rumah 600 unit setiap tahun dapat tercapai.
"Misalnya, kita taruh (dana FLPP) ke surat utang negara (SUN) dengan return 6 persen. Dengan return 6 persen saja, maka dia akan bisa menutupi KPR dengan pola subsidi selisih bunga," kata Nixon.
Selain itu, BTN mengusulkan batasan harga jual rumah subsidi diperlebar hingga Rp 300 juta sehingga kelayakan dan kualitas rumah menjadi lebih baik dan masyarakat berpenghasilan di atas Rp 8 juta bisa ikut menikmati subsidi.
"Dengan kita naikkan ini (batasan harga jual rumah subsidi), tanpa melihat income sehingga melihat harga jual rumah, sepanjang itu adalah rumah pertama. Kami usulannya seperti itu. Mudah-mudahan ini lebih baik. Kalau ini terjadi, maka daya jangkau masyarakatnya akan lebih besar," kata dia.
Direktur Consumer BTN Hirwandi Gafar mengatakan definisi yang masuk kriteria masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) juga perlu ditinjau kembali oleh pemerintah.
Menurut dia, masyarakat berpenghasilan tanggung (MBT) dengan penghasilan di atas Rp 8 juta sebenarnya bisa masuk MBR mengingat kemampuan daya beli mereka terhadap rumah masih terbatas.
BTN juga mengusulkan pemangkasan masa subsidi hingga maksimal 10 tahun mengingat penghasilan masyarakat biasanya terus meningkat pada tahun kesepuluh.
Konsumen juga dinilai cenderung melunasi cicilan rata-rata setelah memasuki tahun kesepuluh meskipun tenor yang diambil secara legal berjangka waktu lebih panjang.
"Kami melihat, masyarakat setelah 10 tahun penghasilannya terus meningkat. Sayang (kalau disubsidi terus) sampai 11-20 tahun berikutnya, yang harusnya bisa dinikmati oleh masyarakat lainnya," kata Hirwandi.