Rabu 24 Apr 2024 07:38 WIB

Koordinasi Pemerintah dan BI Krusial Jaga Stabilisasi Rupiah

BI masih memungkinkan untuk mempertahankan suku bunga.

Warga menukarkan uang rupiah terhadap uang dolar AS di Money Changer, Jakarta, Rabu (17/4/2024).
Foto: Republika/Thoudy Badai
Warga menukarkan uang rupiah terhadap uang dolar AS di Money Changer, Jakarta, Rabu (17/4/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Head Of Fixed Income Research PT Sinarmas Sekuritas (SimInvest) Aryo Perbongso menyatakan, koordinasi komprehensif antara Bank Indonesia (BI) dengan pemerintah sangat penting untuk menstabilkan nilai tukar (kurs) rupiah dan menerapkan kebijakan berorientasi pertumbuhan yang bersifat pre-emptive.

Hal ini dilakukan karena adanya ketegangan di Timur Tengah antara Iran dengan rezim Israel yang menimbulkan risiko terhadap pasar di Indonesia, yang diperburuk potensi dampak kenaikan harga minyak hingga 100 dolar Amerika Serikat (AS) per barel, arus keluar modal, dan depresiasi rupiah.

Baca Juga

“Pemerintah dan Bank Indonesia menghadapi dilema dalam memilih antara kebijakan propertumbuhan dan menstabilkan biaya fiskal untuk mengelola nilai rupiah. Mempertahankan BI Rate di tengah tantangan-tantangan ini dapat memberikan sinyal dukungan terhadap pertumbuhan ekonomi, namun dapat menyebabkan peningkatan biaya fiskal,” ungkapnya dikutip dari keterangan resmi di Jakarta, Rabu (24/4/2024).

Dengan nilai tukar saat ini, lanjutnya, pihaknya menilai bahwa kemungkinan besar BI rate masih dapat dipertahankan pada April 2024, mengingat siklus pembayaran dividen yang masih berjalan. Seiring dengan itu, terdapat kekhawatiran kenaikan BI Rate pada saat ini mungkin takkan memberikan efektivitas signifikan.

Skenario yang dinilai memungkinkan bagi BI dan pemerintah untuk menstabilkan nilai rupiah adalah dengan mempertahankan BI rate dan meningkatkan imbal hasil Surat Utang Negara (SBN).

“Dengan dipertahankannya BI Rate, berarti mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia dibandingkan dengan menaikkan suku bunga, meskipun hal ini dapat menyebabkan peningkatan biaya fiskal APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) karena imbal hasil SBN yang lebih tinggi,” ucap Aryo.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement