REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan memandang bahwa Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu memperhatikan kondisi internal perbankan dalam negeri di tengah melemahnya nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar AS.
"OJK juga harus memperhatikan kondisi internal bank atau individual bank, kira-kira bank-bank mana yang akan tereksposur terhadap gejolak nilai tukar yang tinggi agar tidak terjadi risiko bank gagal," kata Abdul di Jakarta, Selasa (16/4/2024).
Pada Selasa sore, kurs rupiah ditutup merosot 328 poin atau 2,07 persen menjadi Rp 16.176 per dolar AS dari penutupan perdagangan sebelumnya pada 5 April 2024 sebesar Rp 15.848 per dolar AS. Pelemahan nilai tukar rupiah di hari kerja pertama pasca-liburan Lebaran ini terjadi seiring dengan konflik Iran dan Israel serta sentimen penundaan pemotongan suku bunga acuan Amerika Serikat (AS).
Abdul mengatakan, durasi konflik geopolitik yang mempengaruhi perkembangan nilai tukar rupiah perlu untuk terus-menerus dicermati. Terkait pengaruh pelemahan nilai tukar rupiah terhadap bisnis perbankan dalam negeri, dia memandang kondisi tersebut tidak membawa dampak yang signifikan.
Hal itu, imbuh Abdul, mengingat penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) dalam valuta asing (valas) terhadap total DPK masih relatif rendah. Begitu pula dari sisi penyaluran kredit dalam valas yang dinilai masih rendah terhadap total kredit bank.
"Karena porsi kredit valas ini tidak begitu signifikan terhadap total kredit bank, saya pikir tidak akan besar pengaruhnya menggerus laba bank. Karena ketika bank sudah mulai mengurangi penyaluran kredit ke valas, maka dia akan mengganti atau mengurangi portofolionya di valas dan menggesernya ke portofolio lain," kata Abdul.
Akan tetapi, bank-bank yang tetap menyalurkan kredit valas dalam porsi besar, terutama ke sektor-sektor yang rentan terhadap pelemahan ekonomi global, berpotensi menghadapi peningkatan non-performing loan (NPL).
Oleh sebab itu, bank dengan kredit valas dalam porsi besar perlu mendapat perhatian dari regulator. Di samping itu, bank juga dinilai perlu melakukan perbaikan terhadap portofolio bisnisnya.
"Katakanlah bank X itu sangat besar penyaluran kreditnya ke sektor-sektor pertambangan dan penggalian di mana sektor ini adalah sektor yang sangat erat hubungannya dengan perkembangan ekonomi global dan rupiah. Ketika dia (bank) maksimal di sana, maka akan terkena NPL yang tinggi. Karena gejolak yang tinggi itu akan mempengaruhi kemampuan deposan atau kreditur untuk memenuhi cicilannya," kata Abdul.
Dia mengamini bahwa bank-bank dengan aset terbesar, terutama yang masuk dalam kategori BUKU IV, biasanya telah memiliki strategi hedging terhadap pelemahan nilai tukar rupiah yang mumpuni dibanding bank dalam kategori BUKU lainnya. Meski begitu, kata Abdul, perlu digarisbawahi yaitu seberapa besar hedging tersebut bisa mengatasi gejolak nilai tukar rupiah.
"Misalnya, hedging mereka (bank) lakukan di (level) Rp16.500. Kalau masih berada di-cover-nya hedging mereka, itu tidak akan terpengaruh apa-apa. Tetapi kalau misalnya hedging-nya sudah di atas Rp16.500, artinya dia akan mengalami kerugian di sisi portofolio di perbankan," kata Abdul.