Selasa 20 Feb 2024 18:05 WIB

ESDM Beri Sinyal Lagi Harga BBM Nonsubsidi Maret Berpotensi Naik

Harga minyak dunia punya tren kenaikan.

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Lida Puspaningtyas
Petugas Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) saat mengisi Bahan Bakar Minyak (BBM) nonsubsidi di Jakarta, Senin (2/10/2023). PT Pertamina (Persero) resmi melakukan penyesuaian harga BBM non-subsidi pada 1 Oktober 2023 untuk jenis Pertamax, Pertamax Turbo, Dexlite, Pertamina Dex, dan Pertamax Green 95 dengan kenaikan antara Rp700 hingga Rp1.000 per liter.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Petugas Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) saat mengisi Bahan Bakar Minyak (BBM) nonsubsidi di Jakarta, Senin (2/10/2023). PT Pertamina (Persero) resmi melakukan penyesuaian harga BBM non-subsidi pada 1 Oktober 2023 untuk jenis Pertamax, Pertamax Turbo, Dexlite, Pertamina Dex, dan Pertamax Green 95 dengan kenaikan antara Rp700 hingga Rp1.000 per liter.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengisyaratkan kenaikan harga BBM, khususnya nonsubsidi pada Maret mendatang. Trend harga minyak dunia yang terus merangkak naik menjadi alasan.

"Kalo saya cermati harga minyak naik lagi kayaknya trennya mau ke sana," ungkap Tutuka saat ditanya potensi kenaikan harga BBM di LEMIGAS, Selasa (20/2/2024).

Baca Juga

Konflik geopolitik di Timur Tengah, Rusia dan juga kondisi ekonomi dunia yang masuk resesi membuat pasokan migas juga menjadi berkurang. Hal ini membuat harga minyak dunia menjadi naik.

"Karena intensitas Timur Tengah masih tinggi karena mengganggu logistik jadi akhirnya terpengaruh. Jadi memang perlu dicermati, saya setuju karena harga minyak cenderung naik terus," tambahnya.

Pada perdagangan Senin (19/2/2024) harga minyak mentah Brent tercatat 83,56 dolar AS per barel, naik 0,11 dibandingkan posisi kemarin. Sementara minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) tidak ada perdagangan karena libur Hari Presiden di AS.

Baik Brent maupun WTI berjangka pada pekan lalu masing-masing naik sekitar 1,5 persen dan 3 persen, didorong oleh meningkatnya risiko konflik Timur Tengah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement