Jumat 09 Feb 2024 17:11 WIB

Penjualan Unilever, McD, Starbucks Melorot, Ekonom Sebut Bisa Berkelanjutan karena Hal Ini

Pengeluaran masyarakat kelas menengah juga menurun.

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Lida Puspaningtyas
Seorang Caleg PDIP di Padang lakukan aksi tunggal boikot produk pro yahudi.
Foto: Republika/ Febrian Fachri
Seorang Caleg PDIP di Padang lakukan aksi tunggal boikot produk pro yahudi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sejumlah korporasi ritel raksasa menunjukkan penurunan penjualan dan keuntungan di tengah isu boikot produk pro Israel. Namun Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal menilai jika sektor ritel mengalami penurunan penjualan bukan disebabkan sepenuhnya karena aksi boikot produk yang terafiliasi dengan Israel.

“Jadi saya sih melihat ke depannya dampaknya kepada boikotnya sendiri mereda tetapi sebetulnya masalah penurunan penjualan dari ritel bukan hanya disebabkan oleh boikot ya,” kata Faisal kepada Republika, Jumat (9/2/2024).

Baca Juga

Sejumlah perusahaan ritel seperti Unilever, Starbucks, dan McDonalds mengakui penurunan penjualan di Timur Tengah dan Asia terutama Malaysia dan Indonesia. Hal tersebut karena masifnya sentimen boikot karena genosida yang dilakukan Israel di Palestina.

Dia menuturkan, justru penurunan penjualan ritel diproyeksikan karena adanya faktor lain. Faisal menegaskan, penurunan penjualan produk ritel karena terdapat faktor yang lebih besar.

“Ini disebabkan dari sisi pelemahan dari perlambatan pertumbuhan spending dari kalangan menengah,” ujar Faisal.

Untuk itu, dia menegaskan penurunan penjualan ritel bisa dipastikan tidak ada hubungan dengan aksi boikot. Sebab, lanjut Faisal, kondisi yang sama juga dirasakan oleh industri ritel pada umumnya.

“Ini (penurunan penjualan) baik itu kita bisa lihat yang terasosiasi dengan agresi Israel atau tidak,” tutur Faisal.

Sebelumnya, PT Unilever Indonesia Tbk mengakui bahwa sentimen negatif konsumen akibat situasi geopolitik di Timur Tengah sempat mempengaruhi kinerja perseroan, khususnya dalam penjualan domestik. Konflik yang terjadi di Timur Tengah berimbas pada penurunan penjualan domestik Unilever Indonesia menjadi minus 5,2 persen pada 2023.

“Kuartal III 2023 cukup baik, kita mulai bulan Oktober juga dengan cukup kuat. November dan Desember 2023 kami terdampak oleh sentimen yang negatif karena situasi geopolitik. Ini berdampak ke penjualan domestik,” kata Presiden Direktur Unilever Indonesia Benjie Yap di Jakarta, Rabu (7/2/2024).

Benjie pun menyiapkan strategi untuk menghadapi tantangan eksternal tersebut. Upaya pertama, perseroan memulai upaya pemberantasan informasi palsu atau hoaks yang telah beredar di berbagai sosial media. Perseroan terus mengoreksi hoaks, serta memastikan bahwa konsumen menerima informasi yang valid.

Upaya kedua, Unilever Indonesia menggandeng masyarakat, berbagai komunitas, hingga tokoh-tokoh agama dalam memberantas misinformasi yang beredar.

“Kami (Unilever Indonesia) bekerja sama dengan komunitas, masyarakat, tokoh-tokoh agama dan komunitas masjid untuk memulihkan sentimen ini di setiap toko dan setiap daerah,” jelas Benjie.

Upaya ketiga, Unilever Indonesia akan terus memantau fluktuasi terhadap tingkat inflasi pada komoditas tertentu. Lebih lanjut, Benjie menekankan bahwa perusahaan tetap fokus pada pertumbuhan jangka panjang dengan melaksanakan lima prioritas strategis, termasuk memperkuat dan mengembangkan portofolio produk, membangun kekuatan eksekusi, dan menempatkan keberlanjutan sebagai inti dari perusahaan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement