Kamis 18 Jan 2024 14:19 WIB

Soal Pajak Hiburan, Pemerintah Diminta Hitung Berbagai Dampak Ini 

Tidak semua tampat hiburan berorientasi untuk kalangan menengah ke atas.

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Fuji Pratiwi
Pekerja merapikan gelas di Inul Vizta, Lebak Bulus, Jakarta, Selasa (16/1/2024).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Pekerja merapikan gelas di Inul Vizta, Lebak Bulus, Jakarta, Selasa (16/1/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom sekaligus Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai pemerintah perlu menghitung kembali dampak dari Undang-undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). Bhima menuturkan aturan tersebut juga bisa merambat kepada pertumbuhan ekonomi dan sejumlah hal lainnya. 

"Harusnya pemerintah punya simulasi bagaimana dampak dari kenaikan pajak ini terhadap pertumbuhan ekonomi, pemulihan dari sektor pariwisata, dan efeknya juga terhadap pengangguran. Harusnya dihitung dulu sebelum kebijakan dikeluarkan," kata Bhima kepada Republika, Kamis (18/1/2024). 

Baca Juga

UU HKPD mengatur salah satunya soal tarif pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) hiburan khusus seperti spa dan klub malam. Pajak yang dikenakan pada sektor hiburan tersebut berkisar 40-75 persen. 

Bhima menilai, pajak hiburan yang terlalu tinggi tersebut tidak adil. "Selain tidak adil juga perlu diperhatikan dampaknya terutama kepada efisiensi yang dilakukan oleh pemilik jasa hiburan sehingga berampak pada pengangguran," jelas Bhima. 

Padahal, lanjut dia, sektor pariwisata baru saja pulih dari pandemi tapi belum kembali seperti sebelum masa pandemi. Menurutnya, kondisi tersebut masih membutuhkan stimulus untuk insentif terutama dalam mendatangkan wisatawan domestik maupun asing. 

Jadi, Bhima menilai jika pemerintah membebani pajak hiburan minumum sampai 40 persen dan tertinggi 75 persen tidak akan meningkatkan  pendapatan asli deerah. "Ini justru PAD di daerah bisa menurun karena banyak pelaku usaha yang tutup, konsumen ataupun pengunjung di tempat hiburan tidak sanggup dengan biaya yang cukup tinggi," ungkap Bhima. 

Terlebih, Bhima menturkan, tidak semua tampat hiburan berorientasi untuk kalangan menengah ke atas. Dengan tekanan daya beli yang ada saat ini, Bhima mengatakan masyarakat berpotensi beralih ke hiburan lainnya. 

"Sementara masyarakat kelas menengah ke atas mungkin akan pergi ke luar negeri mencari tempat hiburan yang lebih berkualitas dengan pajak yang lebih rendah," ucap  Bhima. 

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan meminta kenaikan pajak barang jasa tertentu atau pajak hiburan bisa ditunda. Luhut meminta kebijakan kenaikan pajak tersebut dievaluasi agar tidak merugikan masyarakat dan pelaku usaha kecil.

"Jadi kita mau tunda saja dulu pelaksanaannya karena itu dari Komisi XI kan sebenarnya, bukan dari pemerintah ujug-ujug terus jadi gitu. Sehingga kemarin kita putuskan ditunda, kita evaluasi," kata Luhut dalam unggahan video di akun Instagram pribadinya @luhut.pandjaitan yang dipantau di Jakarta, Rabu (17/1/2024).

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement