REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar IPB University Bungaran Saragih menyatakan hilirisasi menjadi kunci untuk memajukan sektor kelapa sawit nasional di masa depan.
"Masa depan industri sawit diyakini tetap cerah, namun pelaku industri harus terus mendorong penelitian dan pengembangan untuk menekuni hilirisasi produk turunan minyak kelapa sawit," katanya dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (11/1/2024).
Menurut Menteri Pertanian (Mentan) periode 2000-2001 produk hilirisasi itu lebih tahan fluktuasi harga dan memberikan kepastian serapan pasar pada industri hulunya.
"Jadi, hilirisasi ini punya dampak keterkaitan (backward and forward linkage) yang besar bagi perekonomian," ujarnya pada acara "Refleksi Industri Sawit 2023 dan Tantangan Masa Depan: Mau Dibawa ke Mana Sawit Kita?" yang digelar Rumah Sawit Indonesia (RSI).
Hilirisasi minyak kelapa sawit sejatinya sudah lama berjalan, tambahnya, berbagai produk turunan sudah dihasilkan, seperti minyak goreng, produk kosmetik, perlengkapan mandi, biodiesel, dan bahan pangan.
Namun, Bungaran berpendapat, masih terbuka inovasi berbagai produk turunan lainnya yang belum dieksplorasi.
Menurut dia, persoalannya hilirisasi sawit di Indonesia terhambat lantaran sektor hulu produksi minyak sawit juga mengalami tantangan.
"Produktivitas panen sawit yang rendah karena peremajaan sawit rakyat yang lambat menjadi salah satu faktornya," ujarnya.
Sementara itu Ketua Umum RSI Kacuk Sumarto sependapat bahwa produktivitas sawit secara nasional masih sangat rendah, terutama sawit rakyat. Padahal, industri sawit merupakan tulang punggung ekonomi Indonesia.
Oleh karena itu, lanjutnya, upaya peningkatan produktivitas di antaranya melalui program peremajaan sawit rakyat (PSR) harus dipercepat realisasinya.
"Prospek industri sawit nasional 2024 tetap baik, tergantung bagaimana kita menyelesaikan berbagai hambatan, termasuk rendahnya produktivitas. Dan untuk mengupayakan hal tersebut kita butuh dukungan kebijakan yang kondusif di tingkat hulu hingga hilir," katanya.
Menurut dia komoditas kelapa sawit memiliki potensi hingga Rp 1.000 triliun dan untuk mendapatkan perputaran uang sebesar itu, maka perlu percepatan PSR.
Namun demikian Kacuk menyebut kendala pelaksanaan PSR yakni peraturan perundangan yang adil, yang saat ini sedang dalam perbaikan oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Perkebunan.
Dia berharap aturannya segera keluar sehingga RSI akan membantu pemerintah untuk percepatan pelaksanaan aturan ini.