Jumat 05 Jan 2024 16:45 WIB

Bos, Ini Ternyata Penyebab Karyawan Mudah Resign

Hanya 22 persen perusahaan Indonesia yang mengedepankan gaji karyawannya.

Ilustrasi gaji
Foto: republika
Ilustrasi gaji

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menurut EY 2023 Work Reimagined Survey, hampir separuh (46 persen) karyawan di Indonesia (vs 39 persen karyawan di Asia Tenggara) memiliki kemungkinan berhenti dari perusahaan di mana mereka bekerja dalam 12 bulan mendatang.

Program kesejahteraan yang lebih baik secara keseluruhan, nominal gaji yang lebih kompetitif, dan peluang peningkatan karier yang lebih besar menjadi alasan utama untuk berhenti bekerja. Nominal gaji masih menjadi kekhawatiran utama 33 persen karyawan di Indonesia (39 persen di Asia Tenggara). Lalu pengaturan kerja yang adil bagi pekerjaan dengan jadwal dan lokasi kerja yang tetap (31 persen di Indonesia vs. 30 persen Asia Tenggara), dan fleksibilitas tempat kerja (22 persen di Indonesia vs. 26 persen di Asia Tenggara).

Baca Juga

Fakta ini mengacu pada hasil dari EY 2023 Work Reimagined Survey seri keempat yang menganalisis pendapat dari 17.050 karyawan dan 1.575 perusahaan di 22 negara dan 25 sektor industri secara global. Jumlah tersebut mencakup 1.050 karyawan dan 200 perusahaan dari Asia Tenggara, termasuk 250 karyawan dan 50 perusahaan di Indonesia.

Sekitar 36 persen perusahaan di Asia Tenggara memprioritaskan gaji, sementara hanya 22 persen perusahaan Indonesia yang mengedepankan hal ini. Selain itu, agenda lain dari perusahaan mencakup pengaturan kerja yang adil bagi pekerjaan dengan jadwal dan lokasi kerja yang tetap (42 persen di Indonesia, 32 persen di Asia Tenggara), dan fleksibilitas tempat kerja (32 persen di Indonesia, 32 persen di Asia Tenggara). Hal ini menunjukkan bahwa karyawan dan perusahaan di Asia Tenggara memiliki pandangan yang relatif sama dalam berbagai isu penting.

Dalam survei ini tidak ditemukan adanya keselarasan antara ekspektasi karyawan dan perusahaan di Asia Tenggara. Hampir dua pertiga perusahaan di Asia Tenggara percaya bahwa pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat mengurangi kemungkinan karyawan untuk berhenti. Akan tetapi, hanya 55 persen karyawan di Asia Tenggara yang berpendapat sama, sehingga perusahaan berisiko mengabaikan fluktuasi pasar tenaga kerja yang terus berlanjut.

EY Asean Workforce Advisory Leader, Samir Bedi, menyatakan, bahkan dengan prospek ekonomi yang melemah saat ini, lebih dari sepertiga karyawan di Asia Tenggara masih berupaya untuk mengganti pekerjaan mereka. Hal itu demi mendapatkan program kesejahteraan yang lebih baik, serta gaji yang lebih tinggi untuk mengimbangi inflasi.

"Perusahaan perlu mempertahankan karyawan berbakat. Caranya, dengan bekerja bersama menciptakan masa depan organisasi yang memprioritaskan kesejahteraan karyawan dan pada akhirnya membangun kepercayaan dan meningkatkan retensi karyawan," kata Bedi menjelaskan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement