Rabu 03 Jan 2024 21:22 WIB

Bagaimana Peraturan Keselamatan Menyelamatkan Nyawa dalam Kecelakaan Pesawat di Tokyo?

JAL memiliki budaya yang sangat ketat seputar prosedur operasi standar evakuasi.

Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani / Red: Friska Yolandha
Petugas melakukan pemadaman api pesawat Japan Airlines yang terbakar di landasan pacu bandara Haneda, Tokyo, Jepang, Selasa (2/1/2024). Pesawat penumpang Japan Airlines bertabrakan dengan pesawat penjaga pantai Jepang dan terbakar di landasan Bandara Haneda Tokyo. Seluruh penumpang dan awak pesawat Japan Airlines yang berjumlah 379 orang berhasil keluar dan menyelamatkan diri ketika api mulai melahap pesawat tersebut.
Foto: Kyodo News
Petugas melakukan pemadaman api pesawat Japan Airlines yang terbakar di landasan pacu bandara Haneda, Tokyo, Jepang, Selasa (2/1/2024). Pesawat penumpang Japan Airlines bertabrakan dengan pesawat penjaga pantai Jepang dan terbakar di landasan Bandara Haneda Tokyo. Seluruh penumpang dan awak pesawat Japan Airlines yang berjumlah 379 orang berhasil keluar dan menyelamatkan diri ketika api mulai melahap pesawat tersebut.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seluruh penumpang dan awak pesawat Airbus A350 Japan Airlines (JAL) 516 yang berjumlah 379 orang selamat dari kecelakaan di Bandara Haneda, Tokyo, Jepang. Pesawat tersebut bertabrakan dengan pesawat Japan Coast Guard Dash pada Selasa (2/1/2024). 

Namun tragisnya, lima dari enam awak pesawat Japan Coast Guard Dash dinyatakan meninggal. Dilansir CNN Travel, Rabu (3/1/2024), meskipun penyelidikan mengenai apa yang terjadi dalam insiden tersebut, yang mengakibatkan pesawat JAL meletus dan menimbulkan api, masih berlangsung, para ahli mengatakan keberhasilan evakuasi bergantung pada kombinasi standar keselamatan modern dan budaya keselamatan JAL yang ketat. 

Baca Juga

Graham Braithwaite, profesor investigasi keselamatan dan kecelakaan di Cranfield University, Inggris Raya (UK) mengungkapkan dari apa yang dia lihat di rekaman, dia terkejut dan lega karena semua orang keluar. 

“Ini adalah dampak yang sangat parah yang harus ditanggung oleh pesawat mana pun. Namun mengetahui apa yang saya ketahui tentang maskapai tersebut, dan seberapa besar upaya yang mereka lakukan dalam hal keselamatan dan pelatihan awak, fakta bahwa mereka melakukan pekerjaan dengan baik bukanlah hal yang mengejutkan,” ujar Braithwaite. 

Sebelumnya, pada 12 Agustus 1985, penerbangan JAL 123 dari Tokyo ke Osaka jatuh, menewaskan 520 dari 524 penumpang, setelah kesalahan perbaikan pada bagian ekor oleh teknisi Boeing, bukan teknisi maskapai penerbangan. Kecelakaan dahsyat yang terjadi hampir 40 tahun lalu itulah yang membantu mengubah JAL menjadi maskapai yang aman, kata Braithwaite. 

Menurut Braithwaite, jelas dampaknya sangat besar terhadap maskapai penerbangan. “Dalam budaya seperti Jepang, mereka mengambil tanggung jawab itu sebagai sebuah kelompok dan ingin memastikan hal seperti itu terjadi lagi,” ujar Braithwaite. “Jadi ketika ada yang tidak beres, mereka melihatnya dari segi bagaimana mereka bisa belajar. Semua adalah peluang untuk berkembang.”

Pada tahun 2005, menyadari banyak karyawan yang bergabung dengan perusahaan tanpa mengingat kecelakaan 20 tahun sebelumnya, JAL membuka ruang di kantor pusat perusahaan mereka untuk memajang bagian-bagian dari reruntuhan, serta cerita dari awak dan penumpang. 

Braithwaite menuturkan hampir empat dekade kemudian kehancuran tersebut masih berdampak besar pada mentalitas perusahaan. “Mereka memiliki budaya yang sangat ketat seputar prosedur operasi standar dan melakukan segala sesuatunya dengan benar. Itulah salah satu alasan dalam kasus ini menurut saya para kru tampil dengan sangat baik,” katanya.

Meskipun tidak jelas siapa yang harus disalahkan atas kecelakaan Selasa (2/1/2024) itu, Braithwaite mengatakan keberhasilan evakuasi “benar-benar” berdampak positif bagi JAL. 

Lanjut ke halaman berikutnya....

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement