REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia perlu meninjau kembali rencana pengembangan spektrum frekuensi seluler 5G yang tengah berjalan, khususnya terkait penetapan harga untuk memastikan kelancaran transformasi digital, demikian menurut asosiasi industri seluler global GSMA.
Kepala GSMA Asia Pasifik Julian Gorman di Jakarta, baru-baru ini, mengatakan, hasil analisis mereka menyimpulkan Indonesia dapat kehilangan sepertiga potensi pemasukan negara dari teknologi 5G apabila harga spektrum belum disesuaikan. "Jika harga spektrum mengikuti perhitungan lama, sampai dengan sepertiga potensi sosio-ekonomi 5G, atau sekitar Rp 216 triliun, bisa hilang dari PDB Indonesia periode 2024—2030," kata Gorman.
Sejak teknologi 5G diluncurkan pada 2019 di Korea Selatan, jumlah pengguna teknologi seluler itu telah mencapai 1 miliar secara global pada akhir 2022 dan diperkirakan akan meningkat hingga 1,5 miliar dalam waktu dekat, ucap Gorman.
Kemajuan teknologi 5G juga akan memacu perkembangan ekonomi digital Indonesia dalam upayanya menjadi negara dengan ekonomi terbesar dunia di waktu mendatang.
Meski demikian, dia menjelaskan, sejak 2010 perkiraan biaya total spektrum tahunan bagi operator seluler di Indonesia meningkat lebih dari lima kali lipat. Hal itu disebabkan biaya yang berkaitan dengan pelelangan dan biaya spektrum frekuensi terkait perpanjangan perizinan. Namun, pertumbuhan pendapatan industri seluler Indonesia tidak seiring dengan pendapatan rata-rata per pengguna layanan seluler yang turun sebesar 48 persen dalam periode yang sama.
Gorman juga menyoroti rasio biaya frekuensi tahunan dengan pendapatan operator seluler di Indonesia saat ini berada di taraf 12,2 persen, melampaui rata-rata rasio di negara kawasan Asia Pasifik sebesar 8,7 persen maupun secara global yang rata-ratanya ada pada 7 persen. Oleh karena itu, GSMA menyarankan pemerintah untuk menurunkan harga tawar minimum spektrum frekuensi supaya operator seluler di Indonesia tidak terlalu terbebani dengan rasio harga yang tinggi dan memberi insentif untuk berinvestasi lebih dalam pengembangan jaringan 5G.
"Dengan menurunkan harga tawar minimum, Indonesia dapat memberi ruang untuk penetapan harga yang baru serta mengurangi risiko spektrum frekuensi yang tidak terpakai," ucap Gorman.
Selain itu dalam rekomendasinya, GSMA juga meminta pemerintah untuk mengevaluasi dan menyesuaikan formula yang mengatur biaya tahunan spektrum frekuensi serta menyusun peta jalan pembangunan teknologi seluler 5G serta generasi-generasi selanjutnya.