Senin 13 Nov 2023 16:06 WIB

Serikat Buruh Jabar Tolak Peraturan Baru Terkait Upah 2024: Tidak Adil

Formula yang digunakan sangat tidak menguntungkan untuk keputusan UMP/UMK 2024.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Agus Yulianto
Ketua DPD Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jawa Barat Roy Jinto Ferianto.
Foto: Foto: Arie Lukihardianti/Republika
Ketua DPD Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jawa Barat Roy Jinto Ferianto.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Dewan Pimpinan Daerah Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (DPD KSPSI) Provinsi Jawa Barat menolak soal Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023 tentang pengupahan. Ketua DPD KSPSI Provinsi Jawa Barat, Roy Jinto Ferianto menilai, aturan itu tidak adil dan tidak berpihak pada buruh. 

Menurut Roy, dalam aturan PP Nomor 51 Tahun 2023 tentang pengupahan, formula yang digunakan sangat tidak menguntungkan untuk keputusan UMP/UMK 2024. "Kaum buruh menolak formula perhitungan penetapan upah minimum yang tertuang dalam PP 51 Tahun 2023, karena sangat merugikan buruh dengan adanya pembatasan kenaikan upah minimum," ujar Roy, kepada wartawan, Senin (13/11/2023).

Roy mengatakan, aturan itu menjadi salah satu faktor untuk menurunkan persentase kenaikan upah, sebab variabel indeks tertentu dengan rentang 0,10-0,30 dikalikan dengan pertumbuhan ekonomi. Sehingga buruh Jabar menolak adanya aturan tersebut. 

"Ini menimbulkan diskriminasi, kenaikan upah minimum dimana sebagian daerah upah minimum akan menggunakan formula pertumbuhan ekonomi ditambah inflasi kali alfa," paparnya. 

Hal itu juga, kata dia, berdampak besar pada UMK. Menurutnya, daerah dengan konsumsi yang tinggi akan turut mengikuti aturan, tanpa memperhatikan soal inflasi daerah. Oleh sebab itu, aturan ini tidak memberikan dampak positif pada buruh. 

"Sedangkan bagi daerah yang upah minimum nya sudah diatas rata-rata konsumsi maka hanya menggunakan rumus formula pertumbuhan ekonomi kali alfa saja tanpa penambahan inflasi," katanya. 

Dengan rincian penghitungan pengupahan yang ada di PP 51 tahun 2023, kata Roy, jumlah kenaikan upah hanya berkisar di angka 1 sampai 3 persen. Ia pun membandingkan kenaikan upah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang mencapai 8 persen dan pensiunan mencapai 12 persen. 

"Hal tersebut mencerminkan ketidak adilan kepada buruh, daya beli buruh pastinya akan terus merosot. Harga  kebutuhan pokok naiknya sangat signifikan, sedangkan PP 51 Tahun 2023 merupakan aturan yang pro upah murah dan kami menolak," katanya. 

Untuk diketahui, pemerintah menerbitkan aturan baru tentang pengupahan, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Aturan ini dikeluarkan pada Jumat (10/11/2023).

Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah mengatakan, melalui aturan baru ini, upah minimum dipastikan akan naik dari tahun-tahun sebelumnya. 

"Kenaikan upah minimum ini adalah bentuk penghargaan kepada teman-teman pekerja/buruh yang telah memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi kita selama ini," katanya.

Roy menjelaskan, kepastian kenaikan upah minimum tersebut diperoleh melalui penerapan formula upah minimum dalam PP Nomor 51 Tahun 2023 yang mencakup 3 variabel, yaitu inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu (disimbolkan dalam bentuk α). 

Indeks tertentu sebagaimana dimaksud ditentukan oleh Dewan Pengupahan Daerah dengan mempertimbangkan tingkat penyerapan tenaga kerja dan rata-rata/median upah. Selain itu, hal yang menjadi pertimbangan lainnya faktor-faktor yang relevan dengan kondisi ketenagakerjaan. 

"Dengan ketiga variabel tersebut, kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan pada suatu daerah telah terakomodasi secara seimbang, sehingga upah minimum yang akan ditetapkan dapat menjadi salah satu solusi terhadap kepastian bekerja dan keberlangsungan usaha," paparnya. 

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement