REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan Institute for Essential Services Reform (IESR) bekerja sama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan kembali menyelenggarakan Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2023 pada 18-20 September 2023.
Baik ICEF maupun IESR sepakat transisi energi di Indonesia merupakan sebuah keniscayaan, menimbang Indonesia telah berkomitmen dapat berkontribusi secara global terhadap pengurangan emisi melalui ratifikasi Persetujuan Paris pada UU Nomor 16/2016.
Direktur Eksekutif ICEF dan IESR Fabby Tumiwa mengatakan sektor ketenagalistrikan yang merupakan sektor strategis dapat bertransformasi menuju energi terbarukan. Dia menyebut, saat ini transisi energi sektor ketenagalistrikan telah didukung dengan ketersediaan teknologi, adanya potensi pendanaan internasional seperti Just Energy Transition Partnership (JETP), serta kerangka kebijakan pendukung seperti Perpres No.112/2022.
Menurutnya, transisi energi merupakan proses yang kompleks dan mempunyai implikasinya yang besar sehingga memerlukan dialog multi-stakeholder agar dapat mengantisipasi dan memitigasi dampak transisi energi di Indonesia, salah satunya melalui penyelenggaraan IETD 2023 tersebut.
“Pemerintah Indonesia sedang meninjau draf dokumen dokumen perencanaan dan kebijakan investasi komprehensif dari Just Energy Transition Partnership (JETP), ada sejumlah target yang disepakati, seperti puncak emisi kelistrikan 290 juta ton CO2 dan 34 persen bauran energi terbarukan pada 2030, serta mencapai nol emisi karbon (net zero emission/NZE) sektor kelistrikan pada 2050. Maka itu, kita perlu memastikan semua rencana dan target ini tercapai dengan proses yang adil serta mendapat dukungan seluruh pihak,” ujar Fabby Tumiwa dalam pernyataan, Rabu (13/9/2023).
Direktur Konservasi Direktorat Jenderal Energi Terbarukan dan Konversi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Gigih Udi Atmo, menyoroti salah satu upaya bertransisi energi yakni dengan pengembangan energi terbarukan. Menurutnya, integrasi energi terbarukan membutuhkan ekspansi jaringan yang dapat mengakomodasi energi terbarukan tersebut.
“Konektivitas melalui ekspansi jaringan (grid) menghubungkan pusat beban dengan sumber energi terbarukan akan sangat strategis ke depan. Yang paling bisa dilaksanakan pada waktu dekat adalah interkoneksi antara Pulau Sumatera dan dan Pulau Jawa untuk memampukan evakuasi dari energi terbarukan berbasis surya, air, panas bumi yang ada di Sumatera, bisa melistriki permintaan (demand) yang ada, di Jawa. Pasokan listrik di Jawa juga bisa digunakan sebagian melistriki sumber demand yang ada di Sumatera. Jadi, pertukaran daya, keseimbangan energi antara dua jaringan paling besar di Indonesia ini bisa dioptimalkan,” ujar Gigih.
Gigih menambahkan untuk mencapai target nol emisi karbon (net zero emission/NZE), jika ada dukungan internasional maka pengakhiran operasional PLTU batubara dapat dipercepat.
Tipe dukungan internasional seperti jenis pembiayaan berupa hibah atau pinjaman lunak menjadi penentu proses pengakhiran operasional PLTU batu bara dengan memanfaatkan pembiayaan yang murah untuk mengakselerasi pemulihan investasi sehingga aset PLTU batubara bisa berhenti operasi lebih awal tanpa melanggar kontrak kerja sama yang sudah ada.