REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Setelah guncangan keras pandemi Covid-19, dunia kembali dihadapkan ketegangan geopolitik di Eropa Timur yang melahirkan tantangan baru yakni volatilitas harga, kelangkaan pasokan, masalah keamanan, dan ketidakpastian ekonomi yang berkontribusi pada krisis energi global.
Senior Vice President Research & Technology Innovation PT Pertamina (Persero), Oki Muraza menjelaskan ketegangan politik yang terjadi di Eropa telah menyebabkan kenaikan harga energi yang berbahaya bagi keamanan dan ketahanan energi di Indonesia.
“Jadi kita harus berusaha untuk meningkatkan ketahanan energi, dan pada saat yang sama kita harus berusaha untuk mencapai target-target sustainability. Bagaimana kita mengurangi emisi dan menambah volume bisnis energi hijau, listrik ramah lingkungan dan lain-lain,” kata Oki Muraza di sela-sela Sustainability Summit B20 yang berlangsung di New Delhi, India, seperti dikutip dalam siaran pers, Rabu (23/8/2023).
Menurut Oki, sebelum terjadinya krisis geopolitik tersebut, Eropa menjadi salah satu pemimpin dalam perubahan menuju sustainability.
Namun dengan menurunnya ketahanan energi, di mana Eropa kembali mengimpor energi seperti batu bara, maka terjadi perubahan dalam bauran energi yang berdampak bagi dunia.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, negara-negara berkembang seperti Indonesia dan India dengan pendapatan yang rendah perlu membangun kerja sama dengan negara maju, utamanya dalam hal modal atau pembiayaan.
“Kerja sama sangat penting untuk mengatasi hal ini. Kita sudah ada beberapa contoh misalnya melakukan kerja sama dengan Jepang CO2 Injection di Lapangan Jatibarang dan selanjutnya CO2 injection di lapangan Sukowati. Pertamina akan terus memperluas kerja sama dengan melibatkan banyak pendanaan internasional dalam rangka mendukung transisi energi di Indonesia,” imbuhnya.
Selain itu, kata Oki, dalam transisi energi pengembangan teknologi menjadi kunci, karena dengan pengembangan teknologi keekonomian akan semakin membaik. Di Pertamina Group terdapat delapan inisiatif yang terbagi dalam tiga blok.
Pertama, upaya Pertamina untuk menghasilkan energi hijau, yang bersumber dari Geothermal yang saat ini mencapai 672 Megawatt yang dikelola sendiri dan 1.2 GW bersama mitra.
Selain memproduksi listrik ramah lingkungan, di lapangan panas bumi ini Pertamina juga mengembangkan Green Hydrogen yang sangat menarik untuk pasar ekspor.
Lalu yang kedua, Variabel Renewable Energy atau energi yang berubah dengan waktu contohnya solar PV. Variabel RE ini perlu diintegrasikan dengan Grid dan Energy storage yang kita kenal dengan battery.
Blok ketiga yakni memanfaatkan energi yang melimpah di Indonesia seperti curah hujan, radiasi matahari, dan biomassa. Sumber daya ini dikerjakan bersamaan, ada yang bisa dijadikan vegetable oil, green diesel atau bio ethanol yang dicampur dengan bensin.
“Bagaimana kita meramu jadi BBM yang lebih rendah kadar emisinya, jadi menggunakan current infrastructure dengan emisi yang lebih rendah,” ungkap Oki.
Senior Managing Director Growth & Strategy Lead Growth Market, Valentin de Miguel menjelaskan untuk menjawab tantangan energi global tersebut, negara-negara berkembang perlu sungguh-sungguh melakukan implementasi dan eksekusi.
“Sangat mendesak untuk mendorong inovasi, riset dan analisis reliability teknologi bahan bakar alternatif, seperti hidrogen, amonia, terutama penangkapan karbon. Tiga teknologi utama ini yang kita butuhkan dengan tekad yang jelas untuk maju,” ujar Miguel.