REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat perkotaan sekaligus Dosen Kajian Pengembangan Perkotaan SKSG Universitas Indonesia Lin Yola menilai tingginya mobilitas masyarakat DKI Jakarta menjadi indikator pertumbuhan ekonomi kota-kota ASEAN. Menurut Lin, mobilitas yang menghasilkan urbanisasi ini bisa menjadi positif maupun negatif tergantung menyikapi dan mencari solusinya.
“Kita lihat mobilitas Jakarta tinggi ini memang indikator kuat pertumbuhan ekonomi yang baik,” kata Lin dalam diskusi Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) ‘Road to ASEAN Summit’ dengan tema ‘Kota Cerdas ASEAN, Tingkatan Kualitas Hidup’ yang disiarkan secara daring, Selasa (8/8/2023).
Adapun dampak positif urbanisasi, yakni peningkatan pertumbuhan ekonomi, sedangkan dampak negatif yang ditimbulkan pesatnya urbanisasi perkotaan adalah lingkungan mulai pencemaran udara, sampah, dan lain-lain. Urbanisasi ini biasa muncul di kota-kota besar seperti Jakarta (Indonesia), Bangkok (Thailand), Manila (Filipina), Hanoi (Vietnam), dan lainnya.
Oleh karena itu, kata dia, perlu adanya konsep kota cerdas (smart city) yang bisa menjadi solusi untuk mengatasi dampak buruk urbanisasi dengan mengandalkan percepatan teknologi. “Pemanfaatan teknologi sebagai penyeimbang dan solusi dampak proses urbanisasi tinggi di kota-kota ASEAN yang sangat diperlukan,” katanya.
Lin melanjutkan, konsep smart city yang diusung Jakarta sebetulnya telah dikenal sejak tahun 1970-an di Amerika Serikat (AS). Kemudian berkembang pada 1980-an dan makin diadopsi di negara-negara lain pada dekade 2000-an.
Pada awalnya, konsep smart city lebih bertumpu pada penerapan pemerintahan yang baik (good governance), khususnya tentang penguatan komunikasi antara pemerintah terhadap masyarakatnya melalui wadah yang lebih modern.
Namun, kata dia, seiring waktu dan perkembangan sosial kemasyarakatan, konsep smart city berkembang lebih luas, yakni mengatasi dampak lingkungan yang dihasilkan tingginya aktivitas dan mobilitas masyarakat perkotaan. Dengan adanya kehadiran smart city sebagai solusi dampak negatif urbanisasi, beber dia, maka diharapkan bisa meningkatkan kualitas hidup masyarakat kota.
“Urbanisasi yang tinggi dibandingkan dengan kawasan lainnya yang memang sudah mencapai 80 persen di Amerika Serikat, 70 persen di Eropa. Asia sudah naik ke tingkat 50 persen-60 persen di 2025,” jelasnya.
Selain itu, ujar dia, untuk mewujudkan smart city diperlukan kolaborasi yang terintegrasi antara pemerintah, akademisi, dan sektor swasta untuk mewujudkan kota cerdas dan layak. Salah satunya, kata dia, menanamkan strategi untuk percepatan implementasi hasil Pertemuan Gubernur-Gubernur dan Wali Kota ASEAN (Meeting of Governors and Mayors of ASEAN Capitals/MGMAC) 2023 sebagai kesetaraan pemahaman, kesadaran, para pemimpin, dan jajarannya.
“Ini bisa dimanfaatkan kerja sama antara pemerintah, akademisi, dan sektor privat untuk bermitra. Kita perlu open mind, work together. Dari semua kalangan,” ujarnya.
Bahkan, Lin menilai pentingnya menjalin kolaborasi dengan mitra-mitra internasional yang memiliki wawasan berbeda dan lebih luas untuk membantu kota-kota di ASEAN mewujudkan kota yang cerdas dan layak huni.