Kamis 01 Jun 2023 18:33 WIB

Ingatkan Kapolda Sulteng, ICJR: Persetubuhan dengan Anak adalah Pemerkosaan

Bersetubuh dengan anak adalah pemerkosaan atau dikenal dengan statutory rape.

Rep: Zainur Mashir Ramadhan, Bambang Noroyono/ Red: Andri Saubani
Kapolda Sulawesi Tengah Irjen Pol Agus Nugroho (kanan) saat rilis kasus kejahatan terhadap anak di Mapolda Sulawesi Tengah di Palu, Rabu (31/5/2023).  Polisi mengungkap kasus tindak asusila terhadap anak di bawah umur dan menetapkan 10 tersangka diantaranya oknum guru, seorang kepala desa dan mahasiswa, serta memeriksa satu oknum polisi yang diduga ikut terlibat.
Foto: ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah
Kapolda Sulawesi Tengah Irjen Pol Agus Nugroho (kanan) saat rilis kasus kejahatan terhadap anak di Mapolda Sulawesi Tengah di Palu, Rabu (31/5/2023). Polisi mengungkap kasus tindak asusila terhadap anak di bawah umur dan menetapkan 10 tersangka diantaranya oknum guru, seorang kepala desa dan mahasiswa, serta memeriksa satu oknum polisi yang diduga ikut terlibat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, mengkritik pernyataan Kapolda Sulawesi Tengah Irjen Pol Agus Nugroho atas kasus dugaan pemerkosaan terhadap anak berusia 15 tahun oleh 11 orang pelaku di Kabupaten Parigi Moutong atau Parimo. Menurut dia, polisi yang mengategorikan kasus itu sebagai persetubuhan alih-alih pemerkosaan atau rudapaksa sangat disayangkan.

“Bersetubuh dengan anak adalah perkosaan atau dikenal dengan statutory rape. Pernyataan Kapolda tersebut seolah menurunkan tingkat kejahatan tersebut, padahal ancaman pidananya lebih besar,” kata Maidina kepada Republika, Kamis (1/6/2023).

Baca Juga

Menurut dia, pernyataan polisi itu sangat destruktif bagi pembaruan politik hukum di Indonesia. Bahkan, dia menyebut pernyataan Kapolda Sulteng menyoal pemahaman hukum terkesan parsial dan tidak komprehensif.

“Juga tidak sesuai dengan perkembangan komitmen hukum di Indonesia tentang kekerasan seksual, yang telah diperbarui dengan adanya UU No. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan juga dengan adanya UU No. 23 tahun 2002 serta perubahannya dalam UU No. 35 tahun 2014 dan UU No. 17 tahun 2016 tentang Perlindungan Anak,” tutur dia. 

 

Dia menjelaskan, persetebuhan yang dinarasikan polisi disertai iming-iming dan menjadikannya "persetubuhan" tidak tepat. Sebaliknya, meski ada bujuk rayu atau iming-iming, perbuatan kekerasan seksual yang melibatkan anggota Brimob inisial HST dan Kepala Desa inisial HS merupakan kejahatan berat.

“Dalam UU Perlindungan Anak, pengaturan ini memberikan degree atau level kejahatan persetubuhan kepada anak menjadi lebih berat sekalipun dilakukan dengan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk,” tutur dia.

Dengan adanya pernyataan itu, dia meminta pihak kepolisian memahami diskursus perlindungan anak dengan cara apapun merupakan perkosaan yang mutlak atau statutory rape

“Sama sekali tidak sulit memahami ini dan berempati pada korban anak. Pun juga, polisi harus memahami perkembangan politik hukum yang ada di Indonesia, dengan adanya Pasal 4 ayat (2) UU TPSK,” kata dia.

In Picture: Pengungkapan Kasus Tindak Pidana Asusila Terhadap Anak

photo
 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement