REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Associate Director BUMN Research Group LM (Lembaga Management) Fakultas Ekonomi Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) Toto Pranoto menyangsikan kemampuan BUMN, PT Amarta Karya (Persero) yang menjadi mitra infrastruktur proyek Bukit Algoritma di Sukabumi, Jawa Barat. Toto menyampaikan upaya pembangunan Bukit Algoritma atau Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pengembangan Teknologi dan Industri 4.0 yang digadang-gadang akan menjadi pusat teknologi mutakhir Indonesia seperti Silicon Valley Amerika Serikat (AS) tidak lah mudah dan memerlukan proses yang panjang.
"Pusat riset dan inovasi seperti Silicon Valley itu butuh ekosistem yang kuat," ujar Toto saat dihubungi Republika di Jakarta, Rabu (17/5/2023).
Pengamat BUMN tersebut menilai Silicon Valley memerlukan sebuah ekosistem yang terintegrasi antara klaster industri teknologi tinggi hingga universitas sebagai sumber talenta dan riset. Selain itu, Toto menyebut pembangunan Silicon Valley juga membutuhkan kucuran investasi yang tidak sedikit pada sektor pembangunan fasilitas laboratorium dan pusat riset.
"Apakah ini bisa dipenuhi Amarta? Saya belum melihat rekam jejak mereka yang signifikan di bidang ini," ucap Toto.
Toto menilai Amarta Karya tidak akan bisa berjalan dan membangun sendirian. Menurut Toto, Amarta Karya harus bekerja keras dalam mencari dan menggandeng mitra strategis yang ada di Silicon Valley tersebut.
Selain persoalan portofolio, Toto juga mengatakan Amarta Karya tengah dihadapkan pada situasi pelik akibat persoalan hukum yang terjadi pada level direksi. Tak main-main, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan telah menetapkan Direktur Utama Catur Prabowo dan Direktur Keuangan Trisna Sutisna sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek pengadaan subkontraktor fiktif tahun 2018-2020.
"Ambisi besar Amarta Karya juga akan berat saat ini terkait masalah hukum yang menimpa direksinya," kata Toto.