Senin 03 Apr 2023 16:47 WIB

OPEC Pangkas Produksi Minyak, Waspada Beban Subsidi BBM Membengkak

Beban fiskal untuk subsidi BBM diproyeksikan bertambah.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Ahmad Fikri Noor
Seorang fotografer mengambil gambar ladang minyak di Riyadh, Arab Saudi, 28 Juni 2021. Beban fiskal untuk mensubsidi harga bahan bakar minyak (BBM) diproyeksi bakal bertambah seiring dengan kemungkinan kenaikan harga minyak dunia imbas langkah Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak dan mitranya (OPEC Plus) memangkas produksi minyak.
Foto: AP Photo/Amr Nabil
Seorang fotografer mengambil gambar ladang minyak di Riyadh, Arab Saudi, 28 Juni 2021. Beban fiskal untuk mensubsidi harga bahan bakar minyak (BBM) diproyeksi bakal bertambah seiring dengan kemungkinan kenaikan harga minyak dunia imbas langkah Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak dan mitranya (OPEC Plus) memangkas produksi minyak.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beban fiskal untuk menyubsidi harga bahan bakar minyak (BBM) diproyeksi bakal bertambah seiring kemungkinan kenaikan harga minyak dunia imbas langkah Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak dan mitranya (OPEC Plus) memangkas produksi minyak.

OPEC Plus memutuskan kembali menambah pemangkasan produksi minyak sekitar 1,16 juta barel per hari mulai Mei 2023 atau total menjadi 3,66 juta barel per hari. Itu setara dengan 3,7 persen permintaan dunia.

Baca Juga

Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, menuturkan, Indonesia akan menjadi negara yang sangat dirugikan karena ketergantungan terhadap impor minyak. Tercatat rerata lifting minyak tersisa 700 ribu barel per hari dari kebutuhan sekitar 1,4 juta barel per hari.

"Indonesia sebagai net importir sangat dirugikan karena akan menguras devisa dan yang penting ini juga menambah beban APBN dalam bentuk subsidi BBM Pertalite dan Solar," kata Fahmy kepada Republika, Senin (3/4/2023).

Kementerian Keuangan mencatat, hingga Februari 2023, total subsidi energi dari APBN yang telah disalurkan mencapai Rp 11,8 triliun atau naik 12,1 persen dibandingkan periode sama tahun lalu. Subsidi tersebut diberikan untuk BBM bersubsidi, gas elpiji tiga kilogram, serta subsidi listrik.

Fahmy mengatakan, opsi menaikkan harga Pertalite dan solar hampir tak mungkin dilakukan karena bakal melanggar amanat konstitusi sebab negara harus hadir meringankan beban masyarakat. Karena itu, sebagai konsekuensi, beban fiskal pemerintah yang akan menahan laju kenaikan harga minyak dunia.

"Ada BBM nonsubsidi yang itu bisa dilakukan penyesuaian harga oleh Pertamina, artinya sudah dilepas ke pasar," ujarnya.

Fahmy meyakini kenaikan harga minyak dunia akibat pemangkasan kemungkinan tidak akan tinggi. Pasalnya, pengaruh OPEC terhadap variabel pembentuk harga minyak dunia tak sekuat dulu. Ada Rusia sebagai produsen minyak yang turut dapat membanjiri pasar lewat pihak ketiga seperti China, India, hingga Arab Saudi.

Ia pun memproyeksi kenaikan harga minyak dunia paling tinggi berkisar 90 dolar AS per barel atau masih sama dengan asumsi dasar ekonomi makro Indonesia 2023. Dikutip dari oilprice.com, harga minyak acuan West Texas Intermediate (WTI) hingga Senin (3/4/2023) untuk kontrak Mei 2023 tercatat sebesar 79,14 dolar AS per barel atau mengalami kenaikan 4,76 persen. 

"Sebelumnya, harga bisa naik di atas 100 dolar AS per barel karena minyak Rusia tidak masuk pasar. Sekarang, Rusia masuk pasar, jadi 90 dolar AS per barel itu maksimal," kata Fahmy.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro menuturkan, penurunan harga minyak dunia yang sempat menyentuh 70 dolar AS per barel membuat para produsen tidak diuntungkan dan sulit mencapai target fiskal negara.

"Kemungkinan ini digunakan untuk mengerek harga lagi. Tentu akan terasa dampaknya (ke Indonesia)," kata Komaidi.

Harga BBM di dalam negeri per 1 April 2023 tengah mengalami penurunan, seperti yang dilakukan oleh Pertamina, Shell, dan BP sebagai penyediaan BBM di Indonesia. Menjelang masa mudik lebaran, besar harapan masyarakat agar harga BBM dapat kembali turun agar lebih terjangkau terlebih didukung oleh penguatan nilai tukar rupiah.

"Tapi, dengan adanya penyesuaian ini, dalam satu-dua bulan ke depan peluang untuk harga turun jadi kecil. Tapi kalau kenaikan, relatif bisa ditahan pemerintah terutama untuk BBM bersubsidi karena ini berkaitan dengan kapasitas fiskal pemerintah," kata Komaidi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement