Senin 03 Apr 2023 13:34 WIB

Tantangan Media Massa pada Era Digital, Perlukah Mengikuti Media Sosial?

Media-media di Indonesia, khususnya media daring, justru mengikuti media sosial.

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Natalia Endah Hapsari
Menghadapi platform medsos bukan perkara mudah bagi media massa. Selain memberikan sejumlah hal baru dalam konteks distribusi konten, media massa juga harus berkompetisi dengan platform. (ilustrasi)
Foto: Alexander Shatov Unsplash
Menghadapi platform medsos bukan perkara mudah bagi media massa. Selain memberikan sejumlah hal baru dalam konteks distribusi konten, media massa juga harus berkompetisi dengan platform. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Platform media sosial (medsos) merupakan kebutuhan setiap orang saat ini. Hampir kebanyakan orang memiliki akun medsos untuk berkomunikasi, melihat informasi terbaru dari idola favorit mereka atau berita.

Menurut pengamat media Agus Sudibyo, menghadapi platform medsos bukan perkara mudah bagi media massa. Selain memberikan sejumlah hal baru dalam konteks distribusi konten, media massa juga harus berkompetisi dengan platform.

Baca Juga

“Media massa bertarung dengan platform dalam memperebutkan khalayak, iklan, di saat media massa menggunakan berbagai teknologi yang disediakan oleh Google, Facebook, dan sebagainya untuk mendiskusikan konten, membuat proses produksi konten agar berita lebih efisien,” kata Agus dalam diskusi bertajuk Goenawan Mohamad, Algoritma, dan Disrupsi Digital di Komunitas Utan Kayu, Jakarta Timur pekan lalu.

Hampir semua media besar seperti CNN dan New York Times, menggunakan semua platform medsos sebagai jaring distribusi konten mereka. Ini juga sejalan dengan yang dilakukan oleh media-media di Indonesia.

Menurut Agus, fenomena ini disebut sebagai frenemy (friend and enemy) saat platform medsos sebagai kompetitor sekaligus kawan karena memberikan kemudahan bagi wartawan. Namun, saat ini, Agus melihat yang terjadi bukan hanya frenemy, tetapi media-media di Indonesia, khususnya media daring mengikuti medsos.

Agus menjelaskan, konten-konten di media massa daring itu diproduksi untuk mendapatkan traffic, iklan. Namun, ini menjadi bumerang karena berita atau konten yang menyebar adalah berita yang berkualitas rendah. Kondisi ini disebut dengan tabloidisasi ruang pemberitaan media.

“Semua isu tentang kebudayaan sebagaimana tabloid. Gosip dan konflik yang didahulukan bukan substansinya. Saya kira tantangan jurnalisme saat ini adalah jurnalisme clickbait,” ujar dia.

Jika kondisi ini terus dibiarkan, bisa menyebabkan masyarakat tidak bisa membedakan berita, informasi, desas desus, dan disinformasi. Termasuk dalam ini masyarakat tidak bisa membedakan antara media sosial dan media massa.

Sebab, media massa juga menyebarkan konten di media sosial. Ini pada akhirnya membuat masyarakat merasa tidak perlu memilah mana kebenaran dan kepalsuan.

“Suatu iklim yang tidak kondusif untuk media-media yang konsisten menegakkan jurnalisme standar. Karena di mata Google atau Facebook, konten itu akan dilihat traffic-nya, bukan kualitasnya. Publik yang membaca pada akhirnya tidak begitu peduli dengan kualitasnya. Ini suatu keadaan saat media-media berkualitas semakin kehilangan habitat yang bisa memberikan apresiasi terhadap konten berkualitas,” kata dia.

Beberapa upaya yang bisa dilakukan adalah membangun kemandirian relatif. Misal, mengembangkan konten berbayar atau mengembangkan konten yang dijual melalui jalur non fungible token (NFT).

“Saya cukup yakin ada keseimbangan baru sejauh media massa mau dan mampu membangun kemandirian relatif, negara hadir memberikan afirmasi yang secukupnya dan publik juga perlu diedukasi untuk kembali membaca media massa konvensional yang jurnalismenya bagus,” ujar dia.

Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan Dewan Pers dan mantan pemimpin redaksi Tempo Arif Zulkifli mengatakan di tengah kondisi digital saat ini, Tempo tidak menyerah. Salah satu cara yang dilakukan hingga sekarang adalah langganan berbayar. “Orang berlangganan untuk membaca Majalah Tempo. Tahun 2019 secara resmi menutup Koran Tempo cetak dan ganti menjadi digital. Sekarang pelanggan digital lebih banyak dibandingkan saat koran tutup,” kata dia.

Selain langganan berbayar, Tempo juga tetap menyajikan berita online terkini melalui Tempo.co. Namun, yang dikembangkan adalah bukan mencari traffic melainkan good quality traffic. “Jadi good quality journalism hanya bisa didapat kalau kita bisa membuat good quality traffic dan juga sebaliknya,” ucap dia. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement