Rabu 29 Mar 2023 13:07 WIB

Pemerintah Netanyahu Kesulitan Loloskan Perombakan Peradilan

Netanyahu menunda rencana perombakan yudisial yang memuat perubahan aturan peradilan.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Esthi Maharani
 Para pengunjuk rasa berkumpul di luar Knesset menjelang protes massal di Yerusalem, Israel,  Senin (27/3/2023). Protes massal telah diadakan di Israel selama 12 minggu menentang rencana pemerintah untuk mereformasi sistem peradilan dan membatasi kekuasaan Mahkamah Agung Israel.
Foto: EPA-EFE/ABIR SULTAN
Para pengunjuk rasa berkumpul di luar Knesset menjelang protes massal di Yerusalem, Israel, Senin (27/3/2023). Protes massal telah diadakan di Israel selama 12 minggu menentang rencana pemerintah untuk mereformasi sistem peradilan dan membatasi kekuasaan Mahkamah Agung Israel.

REPUBLIKA.CO.ID, TE ALVIV -- Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menunda rencana perombakan yudisial yang memuat perubahan aturan peradilan. Namun dia berjanji untuk meloloskan paket itu melalui parlemen dengan satu atau lain cara.

Jalan yang akan ditempuh pemerintahan Netanyahu dalam mencapai tujuan dalam perombakan peradilan tidak akan mudah. Mereka menghadapi tembok oposisi yang belum pernah dihadapi sebelumnya dalam karir politik tiga dekade.

Baca Juga

Selama hampir tiga bulan, ratusan ribu orang telah berulang kali turun ke jalan pekan demi pekan. Mereka berdemonstrasi menentang rencana tersebut dengan melumpuhkan jalan raya utama dan jalan-jalan kota lainnya karena upaya pemerintah dinilai mendorong negara menuju kediktatoran.

Para pemimpin bisnis dan petugas keamanan yang berpengaruh pun menentangnya. Serikat pekerja utama Israel mengumumkan pemogokan umum.

Mungkin yang paling mengkhawatirkan bagi Israel adalah keputusan cadangan militer utama mengancam akan berhenti melapor untuk bertugas. Sedangkan sekutu internasional menyuarakan keprihatinan dan keberatan pula.

Meski mendapat dukungan di parlemen untuk mendorong rencana tersebut, prospek kerusuhan yang berkelanjutan bersama dengan kerusakan ekonomi, diplomatik, dan keamanan terbukti terlalu berat untuk ditangani. “Dia mengerti bahwa berada di jalan buntu,” kata presiden lembaga think-tank Israel Democracy Institute Yohanan Plesner.

Plesner mengatakan, jeda yang ditetapkan Netanyahu pekan ini tidak menandai munculnya perjanjian perdamaian domestik antara kelompok di Israel. “Sebaliknya ini adalah gencatan senjata, mungkin untuk menyusun kembali, mengatur ulang, mengarahkan kembali, dan kemudian berpotensi maju," katanya.

Saat Netanyahu mencoba untuk berkumpul kembali, rintangan itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan menghilang. Jika ada, lawan-lawannya tampaknya menjadi lebih berani dengan keberhasilan protes yang sudah dilakukan.

“Para pengunjuk rasa yang turun ke jalan tidak bodoh,” kata gerakan protes akar rumput pada Selasa (28/3/2023).

“Pemerintah tidak akan dapat melewati kudeta yudisial karena jutaan warga yang telah memprotes hingga saat ini tidak akan menyerah," ujarnya.

Sementara kelompok protes lain mengatakan, mereka akan menangguhkan kegiatan. Mereka juga siap untuk beraksi kembali jika diperlukan.

Sebagian besar kesulitan Netanyahu dalam mendorong reformasi itu berakar pada kasus hukumnya sendiri. Sejak didakwa atas tuduhan korupsi pada  2019, serangkaian mantan mitra dan sekutu telah meninggalkannya, menjerumuskan negara ke dalam lima putaran pemilihan dalam waktu kurang dari empat tahun.

Netanyahu akhirnya dapat mengamankan mayoritas parlemen setelah pemungutan suara terakhir November lalu. Namun dia membutuhkan dukungan dari partai-partai ultra-Ortodoks dan ultranasionalis untuk membentuk pemerintahan paling kanan di negara itu dalam sejarah.

Mitra-mitra ini telah memusuhi Amerika Serikat (AS) dan sekutu Barat lainnya, serta sekutu Arab baru Israel di Teluk. Mereka secara agresif mendorong pembangunan pemukiman Tepi Barat dan membuat pernyataan kontroversial tentang Palestina. Krisis tanpa henti telah mengalihkan perhatian Netanyahu dari fokus agenda tradisional pada masalah keamanan dan diplomatik.

Sedangkan di dalam negeri, mitra ini telah mengasingkan sebagian besar masyarakat Israel, terutama pembayar pajak kelas menengah sekuler. Mereka memberikan tuntutan yang secara luas yang dilihat sebagai pemaksaan agama atau melanggar hak LGBTQ, warga negara Palestina, dan minoritas lainnya.

Tapi memang langkah pemerintah yang paling kontroversial sejauh ini adalah pengenalan perombakan yudisial. Di antara komponen utamanya adalah proposal yang akan memungkinkan koalisi yang berkuasa mengatur penunjukan hakim dan memberinya wewenang untuk menjatuhkan putusan Mahkamah Agung yang tidak disukai.

Kemarahan publik memuncak pada akhir pekan lalu, setelah Netanyahu tiba-tiba memecat Menteri Pertahanan Yoav Gallant. Dia telah mendesak perdana menteri untuk menunda perombakan dengan alasan kekhawatiran tentang perpecahan pada militer.

Dalam satu jam, ratusan ribu orang turun ke jalan di seluruh negeri, memblokir jalan raya utama Tel Aviv dan bentrok dengan polisi di luar rumah Netanyahu di Yerusalem. Kerusuhan berlanjut ketika puluhan ribu orang memprotes di luar parlemen di Yerusalem, sementara serikat buruh Histadrut mengumumkan pemogokan umum.

Momen itu adalah pertama kalinya serikat pekerja mengambil tindakan atas masalah politik. Kondisi ini menyebabkan penerbangan dibatalkan dan menutup kantor di seluruh negeri.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement