Senin 27 Mar 2023 15:02 WIB

AS Minta Netanyahu Kompromi Soal Rencana Aturan Peradilan

AS sangat prihatin dengan perkembangan terakhir di Israel.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Esthi Maharani
AS menekankan perlunya kompromi atas kondisi yang semakin tidak terkendali usai Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memecat menteri pertahanannya.
Foto: EPA-EFE/ABIR SULTAN
AS menekankan perlunya kompromi atas kondisi yang semakin tidak terkendali usai Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memecat menteri pertahanannya.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Juru bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih Adrienne Watson menyatakan pada Ahad (26/3/2023), Amerika Serikat (AS) sangat prihatin dengan perkembangan terakhir di Israel. Washington menekankan perlunya kompromi atas kondisi yang semakin tidak terkendali usai Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memecat menteri pertahanannya.

"Kami sangat prihatin dengan perkembangan hari ini dari Israel, yang selanjutnya menggarisbawahi kebutuhan mendesak untuk kompromi," kata Watson dikutip dari Anadolu Agency.

Baca Juga

"Seperti yang baru-baru ini didiskusikan Presiden dengan Perdana Menteri Netanyahu, nilai-nilai demokrasi selalu, dan harus tetap, menjadi ciri khas hubungan AS-Israel," kata pernyataan itu.

Washington pun menekankan bahwa masyarakat demokratis diperkuat oleh checks and balances. Pernyataan terbaru ini menggarisbawahi bahwa perubahan mendasar pada sistem demokrasi harus dilakukan dengan basis dukungan rakyat seluas mungkin.

"Kami terus mendesak para pemimpin Israel untuk menemukan kompromi secepat mungkin. Kami percaya itu adalah jalan terbaik ke depan untuk Israel dan semua warganya. Dukungan AS untuk keamanan dan demokrasi Israel tetap kuat," ujar Watson.

Israel telah menyaksikan protes massal selama 12 minggu terakhir terhadap rencana pemerintah untuk mereformasi peradilan. Netanyahu pun memutuskan untuk memecat Menteri Pertahanan Yoav Gallant pada Ahad. Tindakan ini diambil setelah Gallant mendesak pemimpin Israel untuk menghentikan rencana pemeriksaan yudisial pemerintah.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement