Sabtu 18 Mar 2023 20:13 WIB

Adian Nilai yang Membunuh UMKM Bukan Impor Pakaian Bekas, Tapi Impor Tekstil dari China

Menurut Adian, impor pakaian jadi dari China menguasai 80 persen pasar di Indonesia.

Politisi PDI Perjuangan - Adian Napitupulu. Adian mengkritisi kebijakan pemerintah melarang impor pakaian bekas. (ilustrasi)
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Politisi PDI Perjuangan - Adian Napitupulu. Adian mengkritisi kebijakan pemerintah melarang impor pakaian bekas. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA. -- Anggota DPR RI Adian Napitupulu mempertanyakan kebijakan larangan impor pakaian bekas oleh pemerintah. Karena menurutnya, tren thrifting (pembelian barang bekas) tidak mempengaruhi bisnis usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) Indonesia.

"Jadi siapa sesungguhnya yang dibela oleh Mendag dan Menkop UMKM. Industri pakaian jadi di negara China atau UMKM Indonesia. Ayo kita sama-sama jujur," kata Adrian di Jakarta, Sabtu (18/3/2023).

Baca Juga

Adian menyebut larangan impor pakaian bekas justru hanya bagian dari upaya pemerintah untuk memuluskan 'jalan' impor pakaian jadi ke Tanah Air. Bukan tanpa alasan hal ini dipertanyakan Adian, pasalnya dia mengaku memiliki data konkret jika pakaian bekas tak pernah mempengaruhi kinerja UMKM Indonesia.

Adian membeberkan berdasarkan data Asosiasi Pertekstilan Indonesia, impor pakaian jadi dari China menguasai 80 persen pasar di Indonesia. "Ambil contoh di tahun 2019, impor pakaian jadi dari China 64.660 ton, sementara menurut data BPS pakaian bekas impor di tahun yang sama hanya 417 ton atau tidak sampai 0,6 persen dari impor pakaian jadi dari China," kata Adian.

Pada 2021, impor pakaian jadi dari China 57.110 ton. Sedangkan impor pakaian bekas hanya 8 ton atau 0,01 persen dari impor pakaian jadi dari China.

Pada 2022, impor pakaian jadi China sebesar 51.790 ton. Sementara pakaian bekas impor hanya 66 ton atau 0,13 persen dari impor pakaian dari China.

"Jika impor pakaian jadi dari China mencapai 80 persen, lalu pakaian jadi impor Bangladesh, India, Vietnam dan beberapa negara lain sekitar 15 persen, maka sisa ruang pasar bagi produk dalam negeri cuma tersisa maksimal 5 persen. Itu pun sudah diperebutkan antara perusahaan besar seperti Sritex, ribuan UMKM dan pakaian bekas impor," jelas Adian.

Adian mengatakan, dari 417 ton impor pakaian bekas itu, tidak semuanya bisa di jual ke konsumen, karena ada yang tidak layak jual. Rata-rata yang bisa terjual hanya sekitar 25 persen hingga 30 persen saja atau di kisaran 100 ton.

"Jika dikatakan bahwa pakaian bekas impor itu tidak membayar pajak maka itu juga bisa diperdebatkan, karena data yang saya sampaikan di atas adalah data BPS yang tentunya juga harus tercatat juga di Bea Cukai," katanya menegaskan.

Atas data itu, Adian pun mempertanyakan sikap ngotot Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan dan Menkop UKM Teten Masduki dalam melarang impor pakaian bekas. Padahal, kata Adian, 80 persen UMKM Indonesia dibunuh oleh pakaian jadi yang diimpor dari China.

"Kenapa para menteri itu tidak berupaya mengevaluasi peraturan dan jajarannya untuk memberi ruang hidup lebih besar, melatih cara produksi, cara marketing bahkan kalau perlu membantu para UMKM itu menerobos pasar luar negeri. Sekali lagi, mencari kambing hitam memang jauh lebih mudah dari pada memperbaiki diri," ungkapnya.

Anggota Komisi VII DPR itu juga menyebut sejauh ini para menteri itu tidak memberikan argumentasi rasional dalam memburu pelaku thrifting. Dari data di atas, Adian malah berkelakar larangan impor bekas hanya permintaan istri atau keluarga pejabat yang tak rela masyarakat mendapat barang mewah dengan harga murah.

"Semoga para menteri tidak memberi data dan cerita yang tidak benar kepada Presiden, terkait dampak pakaian bekas impor terhadap UMKM dan dampak pakaian baru impor dari Negara China," tutupnya.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement