REPUBLIKA.CO.ID, SINGAPURA -- Harga minyak menguat di perdagangan Asia pada Jumat (17/3/2023) sore, setelah pertemuan antara Arab Saudi dan Rusia menenangkan pasar di tengah ekspektasi permintaan Cina yang kuat. Namun, harganya menuju penurunan mingguan terbesar sejak Desember karena krisis perbankan mengguncang pasar keuangan dan minyak global.
Minyak mentah berjangka Brent terangkat 30 sen menjadi diperdagangkan di 75 dolar AS per barel pada pukul 07.04 GMT, setelah menghentikan penurunan selama tiga hari beruntun untuk menetap 1,0 persen lebih tinggi pada Kamis (16/3/2023). Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS menguat 21 sen menjadi diperdagangkan di 68,53 dolar AS per barel, setelah ditutup 1,1 persen lebih tinggi di sesi sebelumnya.
Kedua kontrak mencapai level terendah dalam lebih dari setahun minggu ini dan bersiap untuk membukukan penurunan mingguan terbesar sejak Desember sekitar 10 persen. Minyak dan aset global lainnya melemah minggu ini oleh runtuhnya Silicon Valley Bank (SVB) dan Signature Bank serta masalah di Credit Suisse dan First Republic Bank, yang membuat pemerintah AS dan Swiss berebut untuk memberikan dukungan.
"Permintaan minyak diperkirakan ulang, tetapi kami melihat sedikit perubahan pada fundamental dan cenderung untuk mengatasi volatilitas sektor keuangan, mempertahankan prakiraan harga kami tidak berubah untuk saat ini karena kami menunggu pembaruan tentang tindakan kebijakan potensial dalam beberapa minggu mendatang," analis JPMorgan mengatakan dalam sebuah catatan, mengacu pada pertemuan OPEC+ dan Washington kemungkinan besar bergerak untuk mulai mengisi kembali cadangan strategis.
Komite penasihat Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutunya termasuk Rusia, sebuah kelompok yang dikenal sebagai OPEC+, akan bertemu pada 3 April.
Penurunan harga lebih lanjut dapat mendorong OPEC+ untuk mengurangi pasokan guna mencegah perkiraan peningkatan persediaan pada kuartal kedua, analis di National Australia Bank mengatakan dalam sebuah catatan.