REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Ekonomi Digital dari Institut of Economic and Finance (Indef) Nailul Huda menyebut perusahaan rintisan atau start up di Indonesia berpotensi semakin sulit mendapatkan pendanaan setelah Silicon Valley Bank (SVB) ditutup.
"Saya rasa dampaknya adalah semakin sulit untuk mendapatkan pendanaan dari luar negeri. Hal tersebut juga akan semakin berat mengingat porsi pendanaan dari AS ke start up digital kita cukup besar," katanya, Senin (13/3/2023).
Untuk itu, sumber pendanaan dari dalam negeri untuk start up perlu ditingkatkan lagi guna mengantisipasi dampak tutupnya SVB yang merupakan bank AS yang berfokus pada pendanaan start up. Apalagi, India juga sudah lebih dahulu memberikan perhatian untuk mengantisipasi pelemahan pendanaan start up.
Ia mengatakan penutupan SVB juga berpotensi membuat lembaga pembiayaan yang melantai di bursa terkena sentimen negatif.
Sebelumnya Regulator Perbankan California menutup SVB Financial untuk melindungi simpanan nasabah dalam kegagalan bank terbesar sejak krisis keuangan AS. Krisis modal di SVB telah menekan saham bank-bank secara global.
SVB telah mencoba, tetapi gagal untuk menopang neracanya melalui penjualan saham yang diusulkan pada Rabu (8/3/2023) malam. "Ada dua dugaan yang saling terkait dari kasus SVB ini. Pertama adalah tingkat suku bunga AS yang meningkat tajam dan kedua pengelolaan dana yang buruk," kata Nailul.
Nasabah meminta dana untuk mereka untuk ditempatkan ke bank dengan suku bunga lebih tinggi, tapi di sisi lain kinerja start up yang mempunyai hutang ke SVB juga sedang menurun. "Kemudian uang SVB di pemerintah pun tenor jangka panjang. Maka kelimpungan SVB mencari dana untuk menutupi likuiditasnya," katanya.