Kamis 09 Mar 2023 16:00 WIB

Jejak Trauma Perang Suku Bagi Kaum Muda Muslim Filipina

Perang membuat masa depan kaum muda Muslim suram.

Rep: Ratna Ajeng Tejomukti/ Red: Ani Nursalikah
Muslim Mindanao menggelar shalat berjamaah dekat Istana Presiden Filipina di Manila, saat berunjuk rasa menuntut kemerdekaan Bangsa Moro. Jejak Trauma Perang Suku Bagi Kaum Muda Muslim Filipina
Foto: AP Photo/Bullit Marquez
Muslim Mindanao menggelar shalat berjamaah dekat Istana Presiden Filipina di Manila, saat berunjuk rasa menuntut kemerdekaan Bangsa Moro. Jejak Trauma Perang Suku Bagi Kaum Muda Muslim Filipina

REPUBLIKA.CO.ID, MINDANAO --  Kesepakatan damai antara pemerintah dan ekstremis terbesar di Filipina menawarkan secercah harapan bagi anak-anak muda yang masih terpengaruh oleh siklus kekerasan perang klan.

Bahkan ketika kesepakatan damai membawa harapan bagi perdamaian di Mindanao, siklus kekerasan perang klan meninggalkan trauma yang berkepanjangan pada pemuda Muslim.

Baca Juga

Rido, istilah lokal untuk perang klan atau perkelahian antara keluarga dan kelompok kekerabatan, ditandai dengan aksi kekerasan pembalasan yang berulang yang dipicu oleh pelanggaran nyata atau sekadar dugaan. Sasaran pembalasan bisa kepada individu atau seluruh keluarga. Hal ini memicu siklus kekerasan antargenerasi, menyebabkan ketakutan dan kecemasan di kalangan pemuda selama bertahun-tahun.

“Perselisihan klan lokal memengaruhi banyak aspek kehidupan kaum muda mereka baik secara fisik, psikologis, ekonomi, dan bahkan sosial-budaya. Impian mereka hancur. Rido membahayakan masa depan pemuda Mindanao dan Muslim,” kata pejabat eksekutif Reconciliatory Initiatives for Development Opportunities (RIDO) Inc., sebuah LSM pembangun perdamaian yang berfokus pada perbaikan kesenjangan sosial akibat perang suku, Abdul Hamitullah Atar.

Sebagai seorang anak, Haifah Dida Agun tidak dapat menghitung berapa kali dia harus meninggalkan rumah keluarganya hanya untuk berlindung dari kekerasan dan perseteruan antara dua klan yang bertikai di desa mereka di Lanao del Sur, Mindanao.

Meskipun keluarganya tidak terlibat langsung dalam perseteruan tersebut, pada usia 15 tahun, Dida Agun harus belajar cara menggunakan senjata api untuk melindungi dirinya sendiri dan memastikan keselamatan adik-adiknya.

“Ada saat ketika kami harus menggali lubang di dalam rumah kami. Ketika ada tembakan, kami akan turun ke sana hanya untuk berjaga-jaga. Itu adalah situasi yang sangat menegangkan bagi saya dan keluarga saya,” kata Dida-Agun, dilansir di Deutsche Welle.

 

sumber : https://www.dw.com/en/how-clan-wars-leave-muslim-filipino-youth-traumatized/a-64851163
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement