Ahad 05 Mar 2023 10:48 WIB

Buntut Kasus Pejabat Pajak, RUU Perampasan Aset Didorong Segera Disahkan

Saat ini penambahan harta tak wajar bukan merupakan tindak pidana.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Lida Puspaningtyas
Sejumlah massa aksi memperlihatkan koin saat unjuk rasa di depan Kantor Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Jumat (3/3/2023). Pada unjuk rasa bertajuk Koin Peduli Untuk Ditjen Pajak tersebut mereka menuntut pencopotan Dirjen Pajak Suryo Utomo, audit seluruh harta kekayaan pejabat tinggi di lingkungan Ditjen Pajak dan segera lakukan reformasi pajak untuk mencegah rasa pesimis masyarakat taat pajak.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah massa aksi memperlihatkan koin saat unjuk rasa di depan Kantor Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Jumat (3/3/2023). Pada unjuk rasa bertajuk Koin Peduli Untuk Ditjen Pajak tersebut mereka menuntut pencopotan Dirjen Pajak Suryo Utomo, audit seluruh harta kekayaan pejabat tinggi di lingkungan Ditjen Pajak dan segera lakukan reformasi pajak untuk mencegah rasa pesimis masyarakat taat pajak.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Zaenur Rohman mendorong segera disahkannya Rancangan Undang-undang Perampasan Aset usai mencuatnya kasus harta tak wajar Pejabat Ditjen Pajak Rafael Alun Trisambodo (RAT) senilai Rp 58 miliar. Keberadaan regulasi ini dinilai memudahkan untuk mencari pembuktian terhadap perolehan harta tak wajar penyelenggara negara.

Zaenur mengatakan, jika RUU Perampasan Aset hasil kejahatan disahkan maka Illicit Enrichment atau peningkataan kekayaan secara tidak sah dan juga penambahan kekayaan secara tidak wajar dan harta yang tidak dapat dijelaskan asal-usulnya itu harus dibuktikan oleh penyelenggara negara.

Baca Juga

"Penyelenggara harus membuktikan harta tersebut berasal dari perolehan yang sah. Kalau gagal maka kemudian harta itu akan disita oleh negara," ujar Zaenur dalam keterangannya kepada Republika.co.id, Ahad (5/3/2023).

Zaenur mengatakan, regulasi ini dapat mengatasi kesulitan penegak hukum saat ini untuk mencari bukti perolehan harta tak wajar penyelenggara negara, seperti Rafael. Saat ini, penegak hukum harus dapat menemukan alat bukti untuk menjerat penyelenggara negara yang hartanya tak wajar, baik melakukan korupsi maupun menerima suap.

 

"Kalau ada penyelenggara negara hartanya jumbo, rekeningnya gendut yaitu bukan suatu pelanggaran hukum kecuali aparat penegak hukum punya alat bukti yang bisa menunjukkan bahwa penyelenggaraan penyelenggara negara tersebut melakukan korupsi atau pencucian uang," ujarnya.

Sebab, saat ini penambahan harta tak wajar bukan merupakan tindak pidana. Sedangkan, dengan RUU Perampasan Aset beban pembuktian harta kekayaan dibebankan oleh penyelenggara negara.

Karena itu, RUU Perampasan Aset dibutuhkan untuk menjerat penyelenggara negara yang hartanya tidak jelas asal-usulnya.

"Jadi tidak harus mencari alat bukti apa yang menunjukkan bahwa seorang penyelenggara negara itu menerima suap, tidak. Cukup memberi kesempatan kepada penyelenggara negara untuk membuktikan bahwa harta tersebut berasal dari perolehan yang sah, gagal membuktikan disita untuk negara," ujar Zaenur.

Sebelumnya, Zaenur mengatakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus mendapatkan alat bukti cukup agar dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh Rafael Alun bisa dilanjutkan untuk pro justicia. Untuk itu, KPK perlu penggalian informasi, pengumpulan data dilakukan pencocokan yang ditujukan untuk memastikan kebenaran informasi LHKPN dan alat bukti yang cukup untuk bisa memproses hukum temuan tersebut.

"Nah mencari pidana apa yang dilakukan itu kan berbasis alat bukti, alat bukti apa yang dimiliki oleh KPK untuk memastikan apakah ada pidana atau tidak yang dilakukan oleh RAT ini," ujarnya.

Namun demikian, KPK mengalami kendala karena kesulitan memproses dugaan korupsi berbasis LHKPN. Karena itu, yang bisa dilakukan KPK saat ini adalah jangan hanya bertumpu pada pencegahan tetapi juga dari sisi penindakan dengan secara aktif mencari informasi dan mengumpulkan data.

"Dibolehkan undang-undang ketika diduga ada informasi tindak pidana ya, KPK secara proaktif mengumpulkan informasi dan data untuk mencari predikat crime pidana asal dari apa yang diduga dilakukan oleh penyelenggara negara yang memiliki harta kekayaan yang tidak wajar," kata Zaenur.

"Apakah itu bisa ditemukan atau tidak, ya harus berusaha tugas fungsi dari KPK untuk mencari alat bukti," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement