Rabu 01 Mar 2023 16:35 WIB

Ayo, Biasakan Melakukan Guna Ulang

Inilah gaya hidup yang menjalankan prinsip pakai-habiskan-kembalikan.

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Natalia Endah Hapsari
Cobalah untuk gunakan kembali barang-barang yang sudah tidak terpakai/ilustrasi
Foto: Unsplash
Cobalah untuk gunakan kembali barang-barang yang sudah tidak terpakai/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Gaya hidup guna ulang disinyalir dapat menjadi solusi pengurangan sampah yang efektif di tengah tren berbelanja dan memesan makanan secara daring. Meski terkesan baru, gaya hidup guna ulang ternyata sudah sejak lama ada di Indonesia.

"Kita selama ini sebenarnya sudah familiar sekali dengan konsep guna ulang," jelas Direktur Eksekutif Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP) UN Ocean Hero Awardee by UNEP Tiza Mafira dalam sesi bincang-bincang bersama Gerakan Diet Kantong Plastik dan Lead Zero Waste Living Lab - Enviu, di Jakarta.

Baca Juga

Tiza menjelaskan, gaya hidup guna ulang adalah gaya hidup yang menjalankan prinsip pakai-habiskan-kembalikan. Salah satu contoh yang paling umum adalah penggunaan air minum dalam kemasan galon. Ketika air minum sudah habis, konsumen biasanya akan menukar galon kosong mereka dengan galon berisi air yang baru.

Prinsip serupa juga sudah cukup lama diterapkan dalam berbagai aspek keseharian masyarakat Indonesia. Penjual jamu keliling misalnya, selalu membawa jamu-jamu mereka di botol kaca yang dipakai berulang.

Mereka juga kerap menyediakan gelas kaca yang bisa dibersihkan berulang kali dan dipakai secara bergantian oleh para pembeli. Pembeli juga bisa menggunakan gelas mereka sendiri yang ada di rumah ketika membeli jamu keliling. "Itu adalah (gaya hidup) guna ulang yang tidak perlu repot," ujar Tiza.

Sayangnya, gaya hidup seperti ini mulai tergerus seiring dengan menjamurnya tren memesan makanan atau berbelanja secara daring. Setiap produk yang dibeli secara daring ini biasanya akan datang dengan kemasan sekali pakai, baik itu kemasan berbahan plastik maupun kemasan berbahan "ramah lingkungan" seperti kain. "Solusi sekali pakai, apa pun bahannya, pasti akan menjadi sampah," ujar Tiza.

Gaya hidup guna ulang juga kerap dipandang ribet dan mahal. Padahal, dengan sistem yang tepat, gaya hidup guna ulang bisa diterapkan dengan mudah oleh orang-orang yang melakukan transaksi secara online.

Perusahaan rintisan Allas misalnya, menghadirkan wadah makanan dan minuman guna ulang yang bisa digunakan oleh kafe hingga restoran untuk melayani pemesanan daring. Wadah makanan dan minuman yang telah digunakan oleh konsumen nantinya bisa dikembalikan oleh konsumen atau dijemput secara gratis oleh kurir.

Ada pula perusahaan rintisan Alner yang menyediakan beragam kebutuhan harian dalam kemasan guna ulang. Beberapa contohnya adalah produk kebersihan tubuh hingga keperluan dapur yang diproduksi oleh merek ternama Wipro, Unilever, serta Yagi.

Kemasan guna ulang dari produk-produk tersebut nantinya bisa dikembalikan oleh konsumen ke titik yang telah disediakan. Kemasan-kemasan tersebut juga bisa dijemput oleh kurir langsung ke rumah konsumen.

Banyak orang mungkin merasa layanan penjemputan kemasan guna ulang ke rumah konsumen ini akan menghasilkan jejak emisi karbon yang signifikan. Padahal, penelitian menunjukkan bahwa emisi karbon dari praktik gaya hidup guna ulang ini lebih rendah dibandingkan emisi karbon yang dihasilkan oleh kemasan sekali pakai, bahkan kemasan sekali pakai yang juga disertai dengan upaya daur ulang.

"Gerakan guna ulang bisa lebih rendah emisi, karena mengurangi produksi plastik dari bahan mentah maupun daur ulang, dan limbah di pembuangan tingkat akhir juga tidak ada," ujar Tiza. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement