Jumat 27 Jan 2023 09:32 WIB

Membangun Komunikasi 'Warung Kopi'

Negosiasi warung kopi kadangkala lebih kuat menangkap dinamika konflik yang muncul.

Mohammad Akbar, Penulis Buku Public Relations Crisis
Foto: Dok. Republika
Mohammad Akbar, Penulis Buku Public Relations Crisis

REPUBLIKA.CO.ID, 

Oleh: Mohammad Akbar*

Keberlanjutan eksistensi korporasi kerap kali dihadapkan pada persoalan yang berujung pada konflik destruktif. Terbaru adalah konflik yang dialami PT Gunbuster Nickel Industri (GNI) di Morowali Utara, Sulawesi Tengah, pertengahan Januari silam.

Konflik yang terjadi di perusahaan smelter nikel itu, sebagaimana dilansir pemberitaan media, dipicu oleh adanya perseteruan antara tenaga kerja lokal versus asing. Puncak dari konflik itu menimbulkan kerugian berupa kerusakan materi serta adanya korban yang meninggal.

Masih dari daratan Sulawesi, konflik agraria juga terjadi antara kelompok masyarakat lokal dan perusahaan kelapa sawit. Konflik agraria semacam ini sebenarnya masih marak terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Konflik-konflik semacam ini biasanya dilatari pada aspek legalitas lahan usaha dan lahan milik warga yang tidak clear sejak awal. Muara dari konflik jenis ini biasanya menempatkan masyarakat pada posisi yang lemah. 

Tak jarang juga konflik agraria ini berujung pada masalah pidana ataupun tindak kekerasan yang dialami warga. Salah satu contoh nyata dialami oleh warga Desa Wadas, Kabupaten Purwerejo, Jawa Tengah. Pada konflik ini, warga tidak berhadapan langsung dengan pihak korporasi. 

Warga Wadas justru berhadapan dengan aparat keamanan setelah mereka menolak rencana pemerintah yang ingin membuka penambangan batu andesit sebagai bahan baku pembangunan Bendungan Bener. 

Lantas pertanyaan dasarnya muncul mengapa konflik-konflik semacam itu bisa terjadi? Tentunya banyak sekali faktor penyebabnya. Namun dalam konteks komunikasi, konflik itu bisa dilihat karena adanya ketidaksesuaian antara harapan dan realitas. Ketidaksesuaian ini muncul ketika kebutuhan (need) dan keinginan (interest) diantara para pemangku kepentingan (multistakeholder) saling tidak memahami peran dan kewajiban dari masing masing pihak. 

Ketidaksesuaian ini bisa semakin besar lagi ketika ruang atau saluran komunikasi tidak berjalan secara lancar. Bahkan banyak pula ditemukan para pemangku kepentingan menihilkan ruang komunikasi, baik secara formal maupun informal. Ketiadaan ruang atau kegagalan membangun saluran komunikasi inilah yang akhirnya melahirkan konflik-konflik destruktif.

Motif Pragmatis

Dalam sejumlah pengalaman menangani konflik berbagai perusahaan yang berada di beberapa daerah, nihilnya ruang komunikasi itu kerap kali dimanfaatkan beberapa pihak untuk memasukkan agenda kepentingan sepihak. Kepentingan sepihak itu memunculkan motif yang bermuara pada agenda pragmatis.

Pragmatisme itu biasanya tercermin dari adanya motif finansial kelompok yang bersifat jangka pendek. Motif-motif itu kadangkala menjadi terselubung karena dibungkus oleh isu-isu bernuansa populis seperti ancaman keberlanjutan sumber daya alam, ketimpangan sosial, hingga degradasi nilai-nilai kearifan lokal. 

Munculnya motif pragmatis ini tentunya tidak bisa disalahkan begitu saja. Di sinilah seharusnya korporasi yang baik bisa menjalankan tanggungjawab sosialnya. Namun untuk mengimplementasikan tanggungjawab sosial tadi diperlukan kajian (assessment) dari berbagai level dengan durasi waktu yang beragam dan relatif panjang. Tak sedikit juga yang harus mengeluarkan biaya besar.

Di sinilah menjadi penting tugas public relations (PR). Aktualisasi PR di sini harus mampu lebih berperan menjalankan fungsinya membangun harmonisasi komunikasi antara korporasi dan publik atau para pemangku kepentingan.

Untuk mengimplementasikan tentunya bukan hal yang mudah. Namun membuka ruang komunikasi kepada para pihak opponent korporasi itu harus tetap dijalankan. 

Dalam pendekatan yang paling sederhana adalah bagaimana menjalankan negosiasi warung kopi. Negosiasi ini mengandung esensi bagaimana menyelami, memahami dan mendengarkan apa saja yang menjadi kebutuhan dan keinginan publik yang menjadi parapihak berkepentingan.

Negosiasi warung kopi ini menjadi bentuk pendekatan informal yang kadangkala akan lebih kuat menangkap dinamika konflik yang muncul di akar rumput. Pendekatan yang dilakukan umumnya mendekati para tokoh informal yang sering kali tidak pernah ingin muncul dalam ruang komunikasi formal.

Tentunya ruang komunikasi melalui negosiasi warung kopi ini akan dapat melengkapi pendekatan secara formal yang umumnya melibatkan aparatur pemerintahan maupun tokoh-tokoh formal di berbagai level. 

Sekali lagi, inilah tantangan praktisi public relations untuk bisa membangun dan mendorong lahirnya ruang atau saluran komunikasi saat menghadapi konflik dengan parapihak yang terlibat.

Tentunya, tantangan itu tidak hanya berhenti dalam melahirkan ruang atau saluran komunikasi. Lebih penting lagi adalah bagaimana menerjemahkan aspirasi dinamika kebutuhan dan keinginan itu menjadi program yang dapat dijalankan sebagai bentuk tanggungjawab sosial korporasi kepada publik.

Sejatinya juga program yang disiapkan dalam kerangka kerja public relations itu bukan hanya berbentuk single solutions. Dinamika kebutuhan dan keinginan itu harusnya dapat direspons dengan menghadirkan beragam solusi. 

Harapannya dengan menyiapkan banyak solusi, maka bisa membukakan jalan untuk meminimalkan potensi konflik menjadi destruktif. Lalu kunci untuk mendapatkan solusi itu adalah memahami akar masalah karena dari sanalah separuh jalan untuk keluar dari masalah itu sudah terbuka lebar.

*Penulis Buku Public Relations Crisis

Peneliti Konflik di Nexus Risk Mitigation and Strategic Communication

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement