Senin 23 Jan 2023 15:05 WIB

Pakar: Jalan Berbayar Bisa Jadi Ikon Kebijakan Publik di Ibu Kota

Pakar tata ruang dari Unair sebut jalan berbayar bisa jadi ikon kebijakan ibu kota.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Bilal Ramadhan
Sejumlah kendaraan roda dua melintas di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Jumat (20/1/2023). Pakar tata ruang dari Unair sebut jalan berbayar bisa jadi ikon kebijakan ibu kota.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah kendaraan roda dua melintas di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Jumat (20/1/2023). Pakar tata ruang dari Unair sebut jalan berbayar bisa jadi ikon kebijakan ibu kota.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar tata ruang dan transportasi Universitas Airlangga (Unair) Siti Aminah menanggapi rencana Pemprov DKI Jakarta untuk memberlakukan sistem electronic road pricing (ERP) atau sistem jalan berbayar elektronik untuk meminimalisir kemacetan lalu lintas yang kian meningkat.

Siti mengatakan, saat ini kota-kota besar di dunia tengah berlomba-lomba mengimplementasikan ERP guna mendukung pencapaian SDGs.

Baca Juga

Di Jakarta, lanjut Aminah, sebetulnya usulan pemberlakuan ERP sudah ada sejak belasan tahun lalu. Namun, usulan tersebut belum juga terealisasi hingga saat ini. Saat ini, ERP kembali menjadi isu publik karena dianggap bisa mengatasi kemacetan Kota Jakarta.

"Padahal, semua jenis angkutan publik dan kebijakan-kebijakan pendukung sudah diambil dan diterapkan di Jakarta. Namun rupanya belum lengkap jika belum ada kebijakan ERP, karena ERP bisa menjadi ikon kebijakan publik dari ibu kota negara yang macet," kata Aminah, Senin (23/1/2023).

Aminah mengatakan, jika pemerintah serius memberlakukan sistem ERP, maka khendaknya belajar dari kota-kota besar di dunia yang telah menerapkan sistem tersebut dengan persiapan lebih dari 15 tahun untuk mengurai kemacetan lalu lintas.

Ia mencontohkan Singapura yang merancang kebijakan ERP mulai dari 1975 dan diterapkan pada 1998. "Dalam hal ini, Singapura mampu menjadi pelopor pemberlakukan road pricing sebagai alat untuk mengurangi kemacetan lalu lintas," ujarnya.

Selain itu, lanjut Aminah, kota-kota metropolitan di dunia yang sering dijadikan contoh selain Singapura ada London, Stockholm, Korea Selatan, Amerika Serikat, dan Hong Kong.

Namun dalam hal ini, Hong Kong pernah mengalami banyak masalah saat kebijakan ERP diterapkan di negaranya. Kebijakan yang diadopsi pemerintah pada waktu itu telah menuai aksi protes dan tekanan akibat ketidakpuasan rakyat.

"Waktu yang diperlukan untuk menerapkan ERP tidak dadakan. Jadi, jika akan menerapkan ERP di Jakarta itu makin menguatkan fakta sosial, ekonomi, dan politik bahwa Jakarta adalah ibu kota NKRI dan macet," kata Aminah.

Aminah melanjutkan, jika tidak diterapkan ERP, maka Kota Jakarta akan mengalami penumpukan kendaraan di jalan, menimbulkan polusi, dan mengganggu distribusi barang dan jasa. Maka dari itu, ERP dipandang sebagai kebijakan publik yang harus diputuskan dan diimplementasikan.

"Jika tidak, maka Jakarta akan menjadi kota yang lumpuh dalam semua bidang kehidupan, mungkin itu gambaran ekstrimnya," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement