Senin 09 Jan 2023 21:28 WIB

Ekonom Tekankan Pentingnya Edukasi Perpajakan

Jika masyarakat abai tentang pajak, akan banyak hoaks menyebar.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Yusuf Assidiq
Pegawai pajak memeriksa kelengkapan Surat Pemberitahuan (SPT) pajak dari wajib pajak. ilustrasi
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Pegawai pajak memeriksa kelengkapan Surat Pemberitahuan (SPT) pajak dari wajib pajak. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Ekonom Universitas Airlangga (Unair) Djoko Dewantoro menanggapi ramainya perbincangan terkait gaji Rp 5 juta yang disebut-sebut dikenai pajak lima persen. Djoko menyayangkan masih banyaknya berita bohong mengenai aturan tersebut.

Padahal, menurutnya, kebijakan pajak terbaru menguntungkan pekerja. Dengan regulasi terbaru, pekerja dengan gaji Rp 5 juta per bulan hanya wajib membayar pajak sebesar 25 ribu per bulan.

"Istilahnya itu jangan gaji, yang dipotong pajak itu hanya penghasilan kena pajak (PKP), itu pedomannya. Masyarakat harus ngerti, gaji tidak sama dengan penghasilan kena pajak," kata Djoko, Senin (9/1/2023).

Ia berharap, ke depan, edukasi tentang perpajakan semakin digencarkan. Karena menurutnya, jika masyarakat semakin abai tentang pajak, akan banyak hoaks yang menyebar.

Di sisi lain, lanjut Djoko, pemerintah pun harus jujur ketika ada kelebihan bayar, agar segera dikembalikan tanpa dipersulit karena itu hak masyarakat.

"Kalau kita cinta negara, kita tidak boleh nggak tahu (tentang pajak). Sebaliknya, pemerintah hendaknya untuk undang-undang perpajakan itu dibuat semudah mungkin," ujarnya.

Pemerintah telah resmi meneken aturan tentang penyesuaian pengaturan di bidang pajak penghasilan yang tertuang pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022.

PP tersebut merupakan aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang disahkan pada Oktober 2022.

Dalam aturan tersebut, pemerintah menaikkan penghasilan kena pajak (PKP) menjadi kumulatif Rp 60 juta per tahun, dan akan dikenakan pajak sebesar 5 persen per tahun. Sebelumnya, tarif lima persen dikenakan untuk PKP dengan kumulatif Rp 50 juta per tahun.

Sementara itu, penghasilan tidak kena pajak (PTKP) tidak berubah, yakni Rp 54 juta per tahun. Menurut Djoko, ini merupakan sinyal baik, karena jika sebelumnya penghasilan hanya Rp 50 juta sudah kena pajak maka kini dinaikkan menjadi Rp 60 juta.

"Jadi ini bentuk perbaikan undang-undang. Tapi di satu pihak, cerdiknya pemerintah adalah dia menaikkan kesejahteraan itu tidak dengan menambah gaji tetapi dengan take home pay-nya (yang diterima pekerja) menjadi lebih tinggi karena lapisan pajaknya dinaikkan," kata Djoko.

Selain itu, pemerintah juga menaikan PPh menjadi 35 persen yang sebelumnya 30 persen bagi masyarakat berpenghasilan di atas Rp 5 miliar. Bagi Djoko, hal tersebut sangatlah wajar dengan mekanisme tarif progresif yang diterapkan pemerintah.

"Itu logis, artinya itu konsekuensi atas suatu sistem. Yang rendah kena rendah, kemudian lapisan yang di atas Rp 5 miliar kena 35 persen, itu nambah," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement