Senin 09 Jan 2023 15:29 WIB

Pengamat: Masalah Perizinan Perkebunan Sawit Dinilai Permasalahan Administrasi

Penguasaan hutan oleh Negara tetap wajib melindungi hak adat.

Perkebunan sawit (ilustrasi).
Foto: Dok Republika
Perkebunan sawit (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Permasalahan izin terkait bisnis perkebunan kelapa sawit merupakan permasalahan administrasi, yang termasuk ke dalam Undang-Undang (UU) Kehutanan. Jika ada permasalahan Izin, hal itu bukanlah merupakan tindak pidana dan tidak masuk dalam ruang lingkup perkara tindak pidana korupsi.

Pakar Hukum Kehutanan dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia Jakarta, Dr Sadino, menyatakan, hal tersebut diatur dengan Perpu No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UUCK) pada Pasal  110A. Di mana kegiatan usaha di dalam kawasan hutan dan memiliki Perizinan Berusaha sebelum berlakunya UU ini dan belum memenuhi, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat 3 (tiga) tahun.

Baca Juga

“Jika setelah lewat 3 (tiga) tahun sejak berlakunya undang-undang ini tidak menyelesaikan maka akan dikenai sanksi administratif, berupa, penghentian sementara kegiatan usaha, denda administratif; dan/atau pencabutan Perizinan Berusaha,” kata Sadino dalam keterangan tertulisnya, Senin (9/1/2022).

Menurut Sadino, pelaku usaha masih diberikan waktu selama tiga tahun sejak UUCK dan Perpu 2 diberikan waktu sampai 2 November 2023 dikeluarkan untuk menuntaskan administrasi pengurusan izin dan tidak ada merupakan Tindakan pidana dan tidak juga masuk dalam ruang lingkup perkara tindak pidana korupsi. 

“Sehingga permasalahan izin yang menjerat beberapa perusahaan seharusnya dikenakan sanksi administratif bukan sanksi pidana, karena izin adalah otoritas pemberi izin dan termasuk dalam tindakan administrasi," ujar Sadino. 

Sadino menambahkan, baik Pasal 110A dan 110B UUCK menggunakan Asas Hukum "Ultimum remedium" dan "Restoratif Justice", dan mencakup kebun sawit di Kawasan hutan sebelum berlakunya UU CK serta mensyaratkan adanya izin lokasi dan/atau izin usaha perkebunan yang sesuai tata ruang, baik itu IUP untuk Korporasi, dan Surat Tanda Daftar-Budidaya (STD-B) untuk masyarakat maksimal 25 hektar. 

Izin lokasi dan/atau IUP ini berbeda dengan Hak Atas Tanah. Sehingga model penyelesaiannya memerlukan verifikasi teknis dengan menggunakan “sebelum ditunjuk” Kawasan hutan sesuai PP No. 23 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan dan setelah ditunjuk Kawasan hutan sesuai Pasal 25. 

Menurut Sadino, ketentuan pasal 25 ini sangat bertentangan dengan ketentuan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 34/PUU-IX/2011 tanggal 9 Juli 2012 yang telah merubah ketentuan Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yakni, Pasal 4 ayat (3) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai.

“Penguasaan hutan oleh Negara tetap wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, hak masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”;

Kemudian pada Pasal 4 ayat (3) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Penguasaan hutan oleh Negara tetap wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, hak masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”;

Menurut Sadino, dalam penyelesaian permasalahan perkebunan kelapa sawit baik sebelum dan setelah adanya Perpu UUCK bisa merujuk beberapa aturan yang sudah ada;

Pertama, Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan Dan Fungsi Kawasan Hutan.

Meskipun pemerintah telah mengeluarkan PP ini sejak 2010, ternyata tidak mampu menyelesaikan persoalan permasalahan perizinan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah yang berpedoman pada Undang-Undang Penataan Ruang, baik itu Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 maupun Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007. Kedua UU Penataan Ruang tersebut pengaturannya berbeda dengan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan. 

Dalam penjelasan dinyatakan berdasarkan UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, Pemerintah Daerah menetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota yang menjadi pedoman dalam pemanfaatan ruang. Dalam penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi atau Kabupaten/Kota terdapat perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan yang belum mengacu pada perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan hasil penelitian terpadu sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004. Perubahan peruntukan tersebut mengakibatkan perbedaan peruntukan ruang antara Rencana Tata Ruang Wilayah dengan peruntukan dan fungsi kawasan hutan.

“Perbedaan peruntukan ruang tersebut di atas mengakibatkan perbedaan acuan dalam pemanfaatan ruang sehingga menimbulkan ketidakpastian pemanfaatan ruang. Perbedaan acuan dalam pemanfaatan ruang tersebut harus diselesaikan dengan ketentuan dalam UU yang berlaku,” kata Sadino.

Kedua, PP No. 104 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan Dan Fungsi Kawasan Hutan. Peraturan Pemerintah Nomor 104 tahun 2015 telah merubah pengertian hutan produksi yang dapat dikonversi. 

Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi adalah kawasan Hutan Produksi yang tidak produktif dan produktif yang secara ruang dapat dicadangkan untuk pembangunan di luar kegiatan kehutanan atau dapat dijadikan lahan pengganti Tukar Menukar Kawasan Hutan. Hutan produksi yang dapat dikonversi juga bukan masuk dalam kategori hutan tetap. Sesuai definisi Hutan Tetap adalah Kawasan Hutan yang dipertahankan keberadaannya sebagai Kawasan Hutan, terdiri atas Hutan Konservasi, Hutan Lindung, Hutan Produksi Terbatas, dan Hutan Produksi Tetap.

“Ketentuan Peralihan Bab IV, dalam PP 104 juga mengakomodasi yang kegiatan usaha perkebunan,” tambahnya. 

Ketiga, PP  No 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan. PP ini pada bagian ketiga telah mengatur  Pengukuhan Kawasan Hutan. Pengukuhan Kawasan Hutan diselenggarakan oleh Menteri untuk memberikan kepastian hukum mengenai status, fungsi, letak, batas, dan luas Kawasan Hutan. 

Selanjutnya berdasarkan hasil inventarisasi Hutan, Menteri menyelenggarakan Pengukuhan Kawasan Hutan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah. 

“Pengukuhan Kawasan Hutan dilakukan melalui tahapan proses: a. Penunjukan Kawasan Hutan; b. Penataan Batas Kawasan Hutan; c. pemetaan Kawasan Hutan; dan d. Penetapan Kawasan Hutan. (3) Penyelenggaraan Pengukuhan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan "memperhatikan" tata ruang wilayah,” kata Sadino.

Keempat, PP No 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan. 

Artinya, bagi pelaku usaha perkebunan yang telah memperoleh izin dari pejabat yang berwenang untuk memberikan izin tidak bisa dikatakan tidak sah. Jika terdapat kekurangan izin yang diperlukan dan sudah mengajukan permohonan adalah bentuk kepatuhan kepada Pemerintah sebagai “itikad baik” dari para pelaku usaha. Kalau belum ada hasilnya dari iktikad baik mengikuti peraturan perundang-undangan adalah masih dalam proses dan sifatnya menunggu karena kewenangan ada pada pemerintah. 

“Tentunya sepanjang izinnya masih sah, maka tidak ada pelanggaran hukum apalagi kejahatan dalam kontek perizinan penataan ruang dan kejahatan di bidang kehutanan. Izin kan yang tadinya dilarang menjadi dibolehkan. Kalau izinnya diperoleh tidak prosedural, ya dibatalkan dulu izinnya,” kata sadino.

Sadino menambahkan, dalam hukum adminitrasi berlaku Asas "Presumptio Iustae Causa": Semua tindakan pemerintah adalah sah dan benar kecuali dibuktikan sebaliknya melalui Pengadilan. Artinya, izin adalah sah karena telah diberikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang Penataan Ruang. 

“Landasan filosofi dari perizinan yang sumbernya penataan ruang adalah sebagai pelaksanaan Undang-Undang Penataan Rang, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK/K) sebagai dasar pemberian perizinan di Provinsi atau Kabupaten/Kota dalam bidang perkebunan dan sudah sesuai ketentuan Pasal 15 ayat (2) Pengukuhan kawasan hutan dilakukan dengan "memperhatikan" tata ruang wilayah. "Memperhatikan" menurut putusan Mahkamah  Konstitusi merupakan "inferatif",” ujar Sadino.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement