REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Fadhil Hasan memaparkan berbagai tantangan sektor pangan dan pertanian Indonesia. Baik dalam jangka menengah hingga panjang ke depan.
"Pertama, pertumbuhan populasi, urbanisasi, dan ketimpangan pertumbuhan penduduk," katanya dalam diskusi publik bertajuk "Catatan Awal Ekonomi Tahun 2023" secara daring di Jakarta, Kamis (5/1/2023).
Dia menjelaskan, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) melaporkan terdapat 828 juta atau hampir 10 persen penduduk dunia terdampak kelaparan pada tahun 2021. Jumlah itu meningkat dari sebelumnya sebanyak 782 penduduk pada tahun 2021.
Padahal, kata dia, lembaga tersebut memproyeksikan jumlah penduduk dunia akan terus tumbuh mencapai 8,6 miliar pada tahun 2030. Selanjutnya mencapai 9,8 miliar pada 2050, dan mencapai 11,2 miliar pada 2100.
"Lebih dari dua per tiga penduduk dunia akan tinggal di perkotaan pada 2050, jadi orang- orang yang bergerak di sektor pangan akan semakin menurun," kata Fadhil.
Tantangan kedua, yaitu peningkatan PDB per kapita yang akan mengubah pola atau komposisi konsumsi pangan penduduk ke depan. Seperti meningkatnya tren konsumsi daging dan susu, sehingga meningkatkan ketidakpastian di sektor pertanian.
Kemudian tantangan ketiga, lanjutnya, adalah kelangkaan Sumber Daya Alam (SDA). Seperti ketersediaan lahan pertanian yang mulai berkurang karena terdegradasi oleh industri maupun lahan hutan.
"Degradasi mempengaruhi kualitas penghidupan masyarakat lokal dan kesehatan ekosistem jangka panjang serta merupakan hambatan untuk mewujudkan ketahanan program," kata Fadhil.
Tantangan keempat, adalah perubahan iklim yang dapat mempengaruhi pasokan pangan, kualitas pangan, stabilitas ketahanan pangan, hingga sifat gizi pada tanaman pangan. Dia menyebut perubahan iklim akan merugikan negara berpenghasilan rendah dan menengah, seperti Indonesia.
Ini karena penduduknya bergantung terhadap sektor pertanian dan juga rentan terhadap krisis pangan. Selanjutnya, tantangan kelima adalah bencana alam dan konflik yang bisa mengganggu produksi pertanian serta pendapatan petani dan buruh tani.
Ini dapat berdampak pada penurunan ketersediaan komoditas dan berujung pada inflasi harga pangan. Perubahan iklim juga perlu menjadi perhatian.
"Mengingat, ketergantungan sektor ini pada iklim dan berdampak signifikan bagi tingkat produksi sektor pertanian," kata FadhilHasan.
Sebagai informasi, inflasi komponen harga bergejolak atau volatile food Indonesia tercatat sebesar 2,24 persen month to month (mtm) pada Desember 2022. Ini didorong oleh komoditas beras dan telur ayam ras. Secara keseluruhan, Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) bulanan tercatat 0,66 persen mtm pada Desember 2022.